27

111 13 6
                                    

Kami berhenti disana. Aku kemudian beranjak dari tempat dudukku, menuang air dari teko kedalam gelas, memberikannya pada lelaki itu.
"Minumlah..." Kataku lemah.

Mino terdiam sebentar sebelum menganggukkan kepalanya, kemudian meraih gelas yang kupegang sebelumnya. Kami bergeming kemudian, membiarkan suara denting jam seirama dengan jantung kami yang samar-samar terdengar. Aku memilih nelupakannya, melupakan perkataan lelaki itu barusan, iya, mungkin dia lelah, mungkin dia belum sepenuhnya sadar dari operasinya. Iya, pasti itu alasannya.

"Tidurlah..." Kata Mino pelan. Lelaki itu masih menatapku dengan tatapan yang sulit untuk ditebak.

Aku menghela napas sesaat.
"Kau duluan, pasti badamnu sakit semua... aku akan melanjutkan pekerjaanku sebentar lagi..." Elakku dengan senyum tipis yang kulontarkan padanya.

Mino ikut menghela napasnya. Ia kemudian memejamkan matanya, mencoba untuk tidur kembali tanpa sedikitpun ucapan selamat malam, tanpa sedikitpun senyuman disana.

Aku membuka laptopku, berusaha keras untuk fokus pada pekerjaanku yang belum terselesaikan. Meski kuakui, sangat sulit untukku sekarang berkonsentrasi pada satu hal. Pikiranku kembali berjelaga ke ucapan lelaki yang berstatus suamiku 1 jam yang lalu. Aku masih belum mengerti kenapa Mino ingin menceraikanku sekarang, saat aku mulai terbiasa dengan keadaannya, saat aku mulai nyaman dengan presensinya, saat aku mulai mencintainya.

***

Aku terbangun, entah kenapa. Sedikit terkejut ada selimut tipis yang membalut tubuhku padahal sebelumnya tidak ada apapun disana. Kulihat kearah samping dan Mino masih disana, tertidur dengan damai.

Tak sadar bibirku melengkung keatas mencipta seutas senyuman perih disana. Setidaknya Mino masih disampingku, harusnya aku bersyukur untuk itu.

Aku beranjak dari sana, melipat kembali selimut itu dan menyimpannya diatas meja. Aku langkahkan kakiku, merapikan barang-barangku dan hendak ketoilet untuk membasuh mukaku. Hidup berdampingan dengan lelaki bernama Mino sungguh seperti menaiki roller-coaster, aku tidak tahu kapan harus melaju kencang atau kapan berputar hingga kepalaku dibawah, atau kapan aku harus berteriak atau kapan aku harus memutuskan untuk berhenti.

"Hei, sudah bangun?" Tanyaku saat aku kembali dan menemukan Mino yang tengah mengotak-atik ponsel miliknya.

Ia mendongakkan kepalanya, menatapku terlihat bingung.
"Kenapa? Perlu sesuatu?" Tanyaku kenbali.

Dia menggeleng pelan.
"Bisakah kau mendekat?" Tanyanya sambil tercekat.

Aku tetap berjalan kearahnya meski pertanyaan masih tercetak dikepalaku.
Belum sampai aku kembali bertanya, Mino meraih tanganku, mengusap punggung tanganku dengan tangan kanannya yang masih tersambung selang infus. Ia menatap tanganku lekat.

"Terimakasih sudah selalu berada disampingku..." Cicitnya belum mau melepaskan tatapannya dari lenganku.

Aku ikut meletakkan satu tanganku diatas tangan Mino.
"Aku istrimu, sudah jelas aku harus disampingmu..." kataku tenang. Meski ya, kuakui setelah perkataan dan perubahan Mino kemarin membuatku takut untuk yakin pada hubungan kami, yakin kalau ia masih mau bersamaku.

"Kau perempuan yang luar biasa..." Mino kembali memujiku.

Entahlah, aku tersipu karena malu atau malah memerah karena kesal dan gemas ingin bertanya semua hal yang ada dikepalaku.
"Dan kau juga lelaki yang hebat..." Timpalku.

Tanpa diduga ia memejamkan matanya, menggeleng keras seperti mengelak kata-kataku.
"Tidak... aku bukan lelaki hebat, aku sangat pecundang..." Katanya.

Meski aku tahu ada banyak makna dalam perkataan Mino tadi, aku tetap tersenyum, memperlihatkan wajah senduku sembari berharap menenangkan priaku. Mino tetap tak mau sedikitpun menegak untuk melihat wajahku, aku ulurkan tanganku menungkup kedua pipi lelaki itu, mengajaknya menengadah untuk menatapku.
"Aku akan selalu percaya padamu..." ya, setidaknya itu yang bisa kuucapkan sekarang, memercayai lelaki itu meski membiarkan diriku sendiri gelisah atas seribu pertanyaan dikepalaku.

Aku menatap wajah sendunya, wajah lelahnya, wajah rupawannya. Dia punya banyak rahasia terlihat dalam matanya, hingga air dipelupuk matanya menggenang, hampir saja terjatuh membentuk tangisan. Aku mendekatkan wajahku padanya, menyentuh bibirnya dengan bibirku membiarkannya menempel sesaat, kemudian aku sesap perlahan, membuat diriku sendiri terlena olehnya. Mino bergeming, tak menolak pun ikut menikmatinya.

Tanpa sadar tanganku yang berada pada pipi lelaki itu membasah, merasakan air mata yang mungkin tak bisa lagi dibendung lelaki itu. Aku perlahan melepasnya, namun Mino kembali menarik wajahku sambil terpejam, membiarkan segala rasa air matanya ikut melebur dengan ludah mulut kami.

Meski aku tahu aku berhak bertanya dan mendapat jawaban atas segalanya, namun untuk sesaat, hanya untuk momen ini kubiarkan, kubiarkan diriku sekali lagi jatuh dihadapan lelaki itu. Meluluh dengan segala sikap dan perbuatannya.

"Ekhemmm..." Satu suara menginterupsi, membuat kami terkaget hingga sontak melepaskan tautan bibir kami.

Aku menoleh kearah suara, terdapat Ibuku disana, mematung canggung sambil menahan tawanya. Aku tersipu sambil menahan malu, Minopun demikian, lelaki itu tengah sibuk mengelap air matanya.

"Kenapa tidak mengetuk?" Protesku kesal.

"Tidak apa-apa, ibu mengerti..." Kata Ibu enteng.
"Oh iya bagaimana keadaanmu? Aku sangat kaget begitu mendengar kalau kau kecelakaan semalam... dan ini... agar kau cepat sembuh..." Fokus Ibu kini kepada Mino, sambil ia menaruh sekeranjang kecil berbagai buah-buahan.

Mino menampilkan senyumnya.
"Sudah jauh lebih baik Bu..." Ucapnya sopan.

"Iya... ditambah lagi dapat ciuman dari istrimu ini ya?" Goda Ibu kembali.

"Ibu...!" Tegurku kesal. Ibu hanya terkekeh geli diikuti senyuman Mino.

"Aku jadi ingat saat aku baru menikah, rasanya tidak ingin jauh-jauh dengan Ayah Irene, padahal awalnya aku sangat benci pada lelaki itu, tapi karma memang berlaku ya..." Ujar Ibuku bercerita.

Aku beranjak untuk mengupas buah yang Ibu bawa, sambil tetap mendengarkan ocehan Ibu, kali ini tentang bagaimana lika-liku dunia pernikahan.

"Jadi kumohon... jaga putriku, dia harta paling berharga untukku, aku tidak akan bilang kalau jangan membuat putriku menangis, tapi tolong jangan terlalu sering membuatnya menangis... Aku memercayaimu Mino..." Ujar Ibuku dengan lembut.

Aku terdiam sesaat, menghentikan kegiatan mengupas buah apelku. Mataku kuulirkan pada Mino, dia tersenyum sambil mengangguk. Ya, meski mulutnya melengkungkan senyum, matanya menyorot kosong. Dan mungkin pada saat itu aku menyadari, bahwa Mino benar-benar ingin pergi dari hidupku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kisah Menjelang MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang