°26°

170 58 27
                                    

"Kak Minchan nggak lupa kan siapa takdir sang iblis?"

Minchan menggeleng. "Gue tadi tiba-tiba lupa karena barusan ngelihat lo yang..."

Minchan tidak melanjutkan ucapannya, sepertinya tanpa Minchan meneruskan pun Kangmin paham. Sungguh Minchan tidak mampu jika harus mengulang memori beberapa menit lalu di mana Kangmin menusuk dada antek sang iblis tanpa ragu.

"Sejak kapan kak Minchan tahu?" tanya Kangmin lirih saat mereka berhenti sejenak untuk sembunyi di bawah bayang-bayang saat dua antek sang iblis menuruni tangga.

"Belum lama. Saat gue mau dipenjara itu gue tiba-tiba teringat kejadian belasan tahun lalu."

Kangmin menghela nafasnya. "Kirain udah lama. Tadi gue sempat berprasangka buruk sama kak Minchan tentang hal ini."

"Kenapa? Takut kalau gue ada rahasia lagi?" kekeh Minchan yang langsung dibalas oleh tatapan melotot Kangmin.

Mereka berdua mulai menaiki anak tangga lagi ketika dirasa kondisi cukup aman. Mereka masih berjalan mengendap-endap, meski para antek sang iblis mengincar mereka dan tak ada bedanya menampakkan diri atau tidak, setidaknya mereka harus cari aman.

"Lo sendiri sejak kapan menyadari hal ini?" tanya Minchan.

Kangmin mengendikkan bahunya. "Tiba-tiba aja keinget kak, sama kayak lo."

"Kira-kira Yongseung gimana ya?"

"Dia jauh lebih peka dari kita,"

"Maksud lo dia nyusul kita gitu?" tanya Minchan setengah tidak percaya.

"Mungkin aja kan?"

Minchan tidak menjawab pertanyaan Kangmin karena begitu mereka sampai di atas suhu udaranya hampir sama dengan di bawah. Padahal jika normal suhu di penjara jauh lebih rendah daripada di atas sini. Suhu udara yang sama ini pasti menunjukkan bahwa keadaan telah berbalik seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya.

Minchan menoleh pada Kangmin bingung. "Kok dingin banget di si--"

"Itu pintunya--" tunjuk Kangmin tercekat pada pintu ruang singgasana sang iblis yang terbuka lebar.

"Ah sial, kenapa nggak dia nggak ngasih kita waktu istirahat sebentar sih?!" gerutu Minchan frustasi.





***





Senyum sang iblis adalah hal pertama yang mereka jumpai ketika mereka resmi berdiri di tengah ruang singgasana itu. Mata sebelah kanan sang iblis yang masih berfungsi normal menyala terang menandakan bahwa ia senang dengan kedatangan tamu-tamunya.

Ah, bukan senang, lebih tepatnya tersenyum licik.

Melihat ekspresi sang iblis yang seperti itu saja sudah cukup membuat nyali keempat hantu didepannya sedikit ciut. Ekspresi sang iblis menunjukkan seolah ia telah memiliki rencana lain yang tak kalah matang dengan rencana-rencana sebelumnya. Bagaimana mungkin mereka berempat masih bisa bersantai?

Jika sang iblis bergerak sesuai rencana maka mereka berempat melakukan improvisasi.

Masa bodoh dengan rencana awal, yang penting nyawa Yongseung bisa mereka selamatkan dan sang iblis dapat binasa selama-lamanya.

Tanpa takut Dongheon melangkah maju namun tangannya buru-buru ditarik oleh Hoyoung. Hantu itu menatap sahabatnya tak mengerti. "Sekarang apalagi?"

"Dia sang iblis, musuh abadi kita. Dulu kita juga menyerang seperti ini tapi menurut lo apakah itu berhasil?"

"Seenggaknya kita punya ini kan?" tunjuk Dongheon pada sebilah tongkat di genggaman tangannya.

Hoyoung menghela nafasnya. "Itu senjata buatan sang iblis, nggak mungkin kan senjata makan tuan?"

[ii] G.B.T.B | VERIVERYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang