°25°

165 56 15
                                    

Hari ke-9
Pukul 01.05.

Yongseung berusaha menetralkan detak jantungnya saat menatap pohon besar di depannya itu sekali lagi. Tangannya terulur memeluk Soora sedangkan Soora mendekap Kim Kangmin dalam pelukannya.

Keputusan Yongseung sudah bulat tentang hal ini dan ia merasa bahwa dirinya telah memutuskan suatu hal yang benar. Soora sendiri tidak dapat berbuat banyak karena ia tidak tahu pasti kronologis kisah Yongseung dan para sahabatnya di masa lalu, ia hanya mendengar dari apa yang Yongseung dan para sahabatnya ceritakan. Begitu juga dengan Kim Kangmin, anak itu tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak Yongseung mengatakan padanya bahwa ia harus percaya pada Mama dan Papanya.

"Sekarang?" tanya Soora sekali lagi sebelum mereka melangkah lebih jauh. Sesekali ia melirik pada tangan Yongseung yang saat ini menggenggam pisau daging dengan erat.

Yongseung menoleh sejenak, lalu menjawab. "Iya."

Baru beberapa langkah mereka maju, menerobos semak belukar di bawah kaki mereka, Kim Kangmin mengaduh dalam gendongan Soora. Tidak sampai disitu bahkan Kangmin menjerit seraya memegang lengan kirinya. Soora segera menyingkap tangan Kangmin yang meremat lengannya dan mendapati bahwa lengan anaknya itu telah mengeluarkan darah.

Darahnya cukup banyak hingga mampu merembes dan mengubah warna lengan sweaternya.

Yongseung membuka sedikit lengan sweater Kangmin dan betapa terkejutnya dia saat mengetahui bahwa lukanya cukup dalam. Dengan sigap Yongseung segera merobek bagian bawah kemejanya lalu menghentikan pendarahan Kangmin dengan membebat lukanya.

"Keadaan di sana pasti parah," cicit Yongseung seraya berusaha membalut luka anaknya yang masih menangis menahan sakit.

"Yoo Kangmin, pasti ada sesuatu yang terjadi padanya."

Yongseung mengangguk. "Lengan anak kita terluka dan itu pasti bukan sesuatu yang baik."

"Papa..." rengek Kangmin menatap Yongseung lalu lengannya secara bergantian.

"Sabar ya,"

"Sampai kapan?"

"Sebentar lagi kehidupan kita akan kembali normal." hibur Yongseung seraya memaksakan senyumnya.

Tidak puas dengan jawaban Yongseung, Kangmin mendongak pada Soora. "Mama, sakit sekali..."

Soora menatap Yongseung sendu. Ia tidak tahu harus menjawab apa karena kalimat penenang pun tak lagi efisien digunakan. Kangmin sudah sangat paham dengan keadaan mereka yang kacau hingga memimpikan utopia saja rasanya tidak sanggup. Namun Yongseung justru memalingkan wajahnya, enggan memberi komentar maupun saran.

Soora menghela nafasnya, kemudian menjawab. "Sebentar lagi--"

"TIDAK! AKU TIDAK MAU MENUNGGU LAGI!"

Pada akhirnya Kangmin meledak. Anak itu menutup kedua telinganya, menangis, menjerit, dan meluapkan segala emosi yang telah membuncah di dadanya. Lengannya masih sakit dan ucapan kedua orang tuanya sama sekali tidak membantu.

Rasanya, justru lukanya tergores semakin dalam.

Sekali lagi Yongseung menatap anaknya sendu. Matanya berkaca-kaca. "Kangmin..."

Uluran tangan Yongseung segera ditepis oleh Kangmin. "Rasanya sakit sekali, Papa tidak tahu rasanya!"

"Maaf,"

"Pisau,"

"Apa?"

Dengan wajah sembab penuh keputusasaan, Kim Kangmin mengatakan hal yang seharusnya tidak diucapkan oleh anak seusianya,

[ii] G.B.T.B | VERIVERYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang