°1°

276 65 16
                                    

Soora segera menoleh ketika ia mendengar derit kursi di meja makan. Ia tersenyum ketika menoleh namun beberapa saat kemudian senyuman itu luntur.

Ia tersadarkan lagi bahwa senyum canggung itu bukan milik Yongseung.

"Kangmin belum bangun?" tanya sosok yang duduk di kursi itu memecah keheningan.

Soora membalik omeletnya yang dimasaknya hati-hati, lalu menjawab. "Dia biasa bangun jam enam."

Hening lagi.

Hanya ada suara minyak panas dan telur goreng yang memenuhi dapur.

"A--aku Bae Hoyoung." ujar Hoyoung ragu.

Hoyoung pikir Soora tidak menghiraukannya karena tak kunjung menjawab. Namun, ketika Hoyoung melihat punggung wanita itu bergetar ia baru paham, bahwa Soora sedang menangis.

Hoyoung ingin mencoba menenangkannya. Tapi sebelum itu terjadi, Soora telah lebih dulu berbalik.

Ia menghapus air matanya kasar lalu tersenyum ke arah Hoyoung. "Salam kenal."

Hoyoung mengangguk kaku.

"Gue nggak--ah, maksudnya aku nggak tahu apa yang lo pikirin--aduh!" Hoyoung memukul kepalanya karena berkali-kali salah ucap.

Soora tersenyum tipis melihatnya. Aneh rasanya melihat wajah Yongseung namun perilakunya tidak seperti Yongseung.

"Nggak apa-apa, bicara senyamanmu aja." tukas Soora membuat Hoyoung mengangguk malu.

"Gue, nggak tahu apa yang lo pikirin tadi sampai nangis. Tapi tolong, percaya sama kita semua. Kita pasti bisa kok bantuin Yongseung, lo, dan Kangmin keluar dari permasalahan ini."

Soora mengangguk sambil berusaha tersenyum. Bagaimanapun juga para sahabat Yongseung saat ini sedang berusaha menyelematkannya dari insiden berdarah. Apapun yang membuat Soora resah saat ini, ia harus segera mengesampingkannya.

Keselamatan keluarganya adalah nomor satu.

"Di makan dulu." ujar Soora singkat seraya menghidangkan omelet buatannya di atas piring.

"Terima kasih." jawab Hoyoung sopan.

Ia mengambil sendok dan garpu itu perlahan. Ia tidak pernah makan makanan manusia sejak ia meninggal belasan tahun lalu. Lalu hari ini tiba-tiba seseorang menyajikannya sepiring omelet. Rasanya seperti mimpi.

Hoyoung memasukkan sesuap omelet ke dalam mulutnya. Ia menggigit dan mencecap perlahan sebelum memasukkan semuanya ke dalam kerongkongan.

Jadi ini rasanya omelet?

Sudah lama sekali ia tidak mencecap rasa ini.

"Enak." ucap Hoyoung sumringah.

"Kak Yongseung sering sarapan pakai ini kalau dia bosen makan roti atau sereal."

Hoyoung mengangguk-anggukkan kepalanya. "Terus abis ini gue ngapain?"

"Nganter Kangmin ke sekolah terus berangkat kerja deh."

"Kalau lo?"

"Aku punya toko buku jadi aku ke toko setiap hari untuk mengawasi. Tapi waktu jam makan siang aku udah pulang sekalian jemput Kangmin di penitipan anak."

"Kangmin pulang jam berapa?" tanya Hoyoung setelah ia selesai menghabiskan omeletnya.

"Jam 10."

"Oh, pantesan di titipin dulu. Btw, Yongseung pekerjaannya apa?"

Hoyoung hanya berharap bahwa pekerjaan Yongseung adalah sesuatu yang mudah dan bisa ia tangani. Namun separuh hati Hoyoung seolah menolak keinginannya karena fakta justru menunjukkan kebalikannya.

[ii] G.B.T.B | VERIVERYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang