Bab 01 Tidak ada pilihan

40.1K 4.7K 141
                                    


"Za..."

Panggilan itu membuat aku menoleh. Aku baru saja melepas sepatu saat masuk ke dalam rumah. Raja sudah berdiri menungguku.

"Apa Mas?"

Raja mendekatiku dan kini mengulurkan sebuah amplop coklat besar.

"Apa ini?"

Raja menunjuk amplop yang kini kupegang.

"Kamu kan belum kenal Pasha. Kamu juga belum tahu dia kerja dimana, rumahnya dimana, jadi ini semacam data diri si Pasha. Kamu baca ya. Dia yang nyuruh kasih ini. Pasha baru pulang untuk menjemput orang tuanya. Besok lamaran resmi akan dibuat. Dan mas udah sepakat kalian akan melangsungkan pernikahan sehari kemudian."

Aku menghela nafas dengan gusar. Kenapa secepat ini? Dan kenapa jalan hidupku harus terburu-buru begini? Aku ingin menjalani semuanya dengan hati-hati. Bahkan sangat penting untuk memilih calon imam dalam hidupku.

"Nggak bisa diundur Mas? Za masih berduka dan juga...'

Tapi Raja sudah menggelengkan kepala.

"Za.. ini keputusan yang tepat. Ayah pasti senang, Mas juga tenang. Kamu juga ada yang jaga. Kamu kan tahu Mas udah anggap kamu seperti adik kandung sendiri. Pasha itu orang baik, percaya sama pilihan Ayah."

Kuhela nafas sekali lagi. Memang sepertinya aku sudah tidak bisa berkutik.

"Baiklah."

Raja tersenyum mendengar ucapanku. Toh aku memang tidak bisa menolak lagi.

#######

Sehabis isya' pintu rumah diketuk, aku padahal baru saja akan merebahkan diri di atas kasur. Raja mengetuk pintu kamarku dan mengatakan Pasha mencariku. Dengan ragu aku membenarkan hijab kaos yang aku pakai dan keluar dari kamar.

"Pasha ada di teras."

Raja mengatakan itu saat aku ingin bertanya. Akhirnya aku menganggukkan kepala dan melangkah menuju teras. Di kursi panjang dari kayu yang ada di teras, Pasha tampak duduk dengan kedua tangan ditopang di kaki. Dia menunduk dan seperti melihat sepatunya.

"Ada apa Mas?"

Mendengar suaraku Pasha mengangkat kepalanya dan menoleh ke arahku.

"Bisa bicara sebentar?"

Tetap saja dia datar seperti itu. Aku hanya menganggukkan kepala dan duduk di kursi yang ada di seberangnya.

Aku merasa canggung, selama ini kami tidak pernah berbincang. Bahkan aku tidak mengenalnya.

"Udah baca cvku?"

Pertanyaannya membuat aku menggelengkan kepala. Memang aku belum membuka amplop itu. Rasanya masih malas.

"Nggak mau tahu tentang aku?"

Pertanyaannya membuat aku mengangkat bahu. Apa yang mau diketahui? Kalau akhirnya juga aku tetap menikah dengannya.

Pasha kini berdehem dan menegakkan diri.

"Maaf kalau aku terlalu lancang. Sepertinya kamu memang canggung sama aku. Jadi aku perkenalkan diriku. Pasha, umur 31 tahun, karyawan swasta, gaji UMR, mengontrak rumah di depan rumah calon istri. Asal dari Jakarta. Mencari istri yang bisa diajak hidup sederhana."

Aku mengernyitkan kening mendengar ucapan Pasha. Kenapa itu panjang banget perkenalannya.

"Sudah mendengar dengan baik?"
Ini orang kenapa banyak ngomong malam ini?

"Mas, kenapa aku? Masih banyak wanita lain yang mungkin sepadan dengan Mas."

Jawabanku membuat Pasha kini menghela nafas dia kemudian menunjuk arah belakangku.

"Kamu tahu kan, aku hanya pegawai swasta yang belum punya rumah? Ngontrak juga. Mana ada yang mau sama aku? Kalau kamu kan udah tahu aku."

Aku mengernyitkan kening mendengar ucapannya. Aku tidak pernah menilai orang dari hartanya. Bagiku yang terpenting itu pribadi mereka. Kaya tapi suka nyakitin juga sama aja.

"Maksud aku bukan itu Mas. Ehm masih banyak di luar sana yang suka sama Mas. Toh Mas itu ganteng." Aduh pipiku memerah mengatakan hal ini. Kenapa juga aku jadi jujur begini. Pasha masih menatapku dengan datar. Tanpa ekspresi.

"Terus sama aku juga belum kenal. Nanti aku ngecewain Mas gimana?"

Kali ini Pasha tampak menautkan alis tebalnya.

"Aku percaya sama kamu."

Duh kenapa jawabannya seperti itu. Aku jadi nggak bisa berkutik.

"Besok keluargaku ke sini. Melamar kamu secara resmi dan kita akan menikah satu hari setelahnya."

Ucapannya hanya membuat aku menghela nafas.

"Kamu nggak suka?"

Pertanyaan itu lagi. "Mas, aku bisa apa coba? Toh memang nggak ada pilihan. Selain ini wasiat ayah aku juga..."

Kuhela nafasku lagi. Pasha masih menunggu jawabanku. "Tidak bisa mengelak dari takdir ini."

Pasha menganggukkan kepala mendengar jawabanku.

"Baiklah calon istri. Selamat malam. Assalamualaikum."

Dia beranjak berdiri dan berpamitan begitu saja. Kenapa dia sangat enteng sekali membahas ini semua?

Bersambung

Nah udah kebaca kan alurnya.. yuk ramein dulu

SURPRISE WEDDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang