BAB 03 MASIH MISTERI

34.7K 4.3K 105
                                    


Aku membenarkan hijab yang aku kenakan. Rasanya masih sangat mengantuk, tapi memang harus sudah mandi dan salat subuh. Aku pikir Pasha masih terlelap, tapi saat aku terbangun dia sudah mengenakan peci dan sarung lalu berpamitan ke masjid untuk salat subuh berjamaah. Masih sangat canggung dan juga malu, mengingat aktivitas semalam. Aku memang tidak menolak saat Pasha mengajak untuk menyempurnakan pernikahan. Toh aku sudah menjadi istrinya dan itu sudah menjadi kewajibanku. Tapi setelahnya aku merasa sangat canggung. Kami selama ini tidak saling sapa, dan setelah menjadi halal semua itu terjadi. Pasha juga tidak banyak bicara. Pria seperti dia memang tidak banyak kata yang keluar dari mulutnya, hanya dengan tindakan saja aku bisa mengerti. 

"Dek..."

Aku menoleh saat panggilan itu terdengar. Aku baru saja memasukkan cucian baju kotor ke dalam mesin cuci saat Pasha menghampiriku.

"Ya?"
Pasha tampak melangkah ke arahku lalu berdiri di sampingku. Dia menatapku sekilas lalu menyentuh hijabku.

"Apa nggak pusing? Rambut habis keramas kan?"

Ah ucapannya membuat aku menyentuh kepalaku. Iya memang masih basah dan aku langsung mengenakan hijab.

"Buka saja."

Dia baru akan menggerakkan tangannya tapi aku mencegah tangannya. "Nggak usah Mas, habis ini Za mau belanja ke pasar."

Ini sudah pukul setengah 6, dan sebenarnya memang sudah menjadi kebiasaanku untuk belanja sepagi ini lalu memasak untuk sarapan pagi. Sebelum nanti berangkat kuliah. Pasha akhirnya menghentikan gerakannya bahkan dia melangkah mundur. Dia ini menatapku lekat.

"Mau aku antar ke pasarnya?"

Refleks aku menggelengkan kepala. Aku masih malu dengannya dan tidak mau dia mengikutiku. 

"Za bisa sendiri Mas, nanti malah Mas capek. Bukannya nanti berangkat kerja?"

Akhirnya Pasha menganggukkan kepala, dia tidak membantah dan berbalik untuk melangkah masuk ke dalam kamar. Ah hidupku tidak akan sama lagi setelah ini. Ada suami yang sudah memilikiku dan berada di rumah ini. Sosok asing yang memaksa masih ke dalam kehidupanku.

***** 

Aku hampir memekik saat merasakan hasil masakanku. Ini kenapa jadi keasinan begini? Padahal aku memasak oseng tempe dengan lauk telur dadar. Kayaknya aku tadi salah masukin takaran garamnya. Kini aku melirik Pasha yang menyuapkan makanannya dengan lahap. Tidak ada protes dari tadi. Padahal ini pasti keasinan banget. 

"Mas..."
Pasha mengangkat kepalanya dan menatapku. Dia berada di seberangku sudah lengkap dengan setelan kerjanya yang selalu rapi. Pasha menatapku datar.

"Ehmmmm ini jangan dimakan deh. Za beliin soto saja di depan sana."

Alis tebal Pasha terangkat, dia tampak tidak paham dengan ucapanku.

"Kenapa?"
Aduh aku malu mau mengatakannya. 

"Ehmm kayaknya Za salah masukin garamnya. Ini kok asin banget."

Setelah mendengar penjelasanku, Pasha kini menatap nasi dan sayur di piringnya yang sudah tinggal sedikit. Lalu dia malah menyuapkan lagi makanan ke dalam mulutnya. Mengunyah dan menatapku.

"Ini enak."

Mataku membelalak mendengar ucapannya. "Meski agak asin."

Nah kan, baru aku akan mengucapkan sesuatu saat Pasha malah menghabiskan makanan di piringnya. Lalu dia meminum air mineral yang sudah aku sediakan.

"Za, aku akan makan apapun hasil masakanmu. Selain mubadzir kalau nggak dimakan, aku tetap percaya sama kamu. Masakan kamu lebih sehat daripada kita jajan di luar sana."

Aku menundukkan kepala mendengar ucapannya. Dia kenapa bisa bijak sekali? 

***** 

"Nikah?"

"Husstt.."

Aku membungkam mulut Kanya dengan tangan. Dia menganggukkan kepala mengerti isyaratku. Setelah kelas selesai kami sekarang di perpustakaan, mau pinjam buku buat mengerjakan tugas. Kanya ini adalah sahabatku satu-satunya di kampus. Aku nyaman dengannya.

"Kamu nggak ngelindur kan Za?"
 Aku menggelengkan kepala dan kini menatap Kanya dengan serius.

"Enggak. Wasiat dari Ayah. Lagipula kemarin terlalu mendadak dan aku memang harus menuruti semuanya. "

Ucapanku membuat Kanya kini menghela nafas "Aku turut berduka ya. Kamu jadi sendirian."

Kanya mengusap lenganku dengan lembut tapi kemudian menatapku lekat "Eh tapi sekarang udah ada si masnya ya yang nemenin. Nggak apa-apa deh Za, daripada kamu sendirian. Lagian Abang Raja kan juga nggak selalu ada di rumah. Tapi sama Bang Raihan gimana? Dia serius sama kamu lho Nya, malah udah siap taarufan sama kamu."

Aku menghela nafas mendengar ucapan Kanya, Bang Raihan adalah kakak tingkatku di sini. Sejak 3 bulan yang lalu memang dia mulai mendekatiku lewat Kanya. Karena aku memang tidak mau pacaran, maka Bang Raihan mengatakan ingin mengajakku taaruf dan menikahiku. Itu aku nggak menganggapnya serius. Selain Bang Raihan itu cukup terkenal di kampus ini, dan juga banyak wanita yang lebih dari aku untuk dicintainya maka aku tidak pernah meganggap hal itu serius. 

"Tapi aku nggak bisa Nya."

Jawabanku membuat Kanya kini menganggukkan kepala "Dia pasti bakal patah hati. Dia suka banget sama kamu."

Aku sebenarnya tidak ingin melukai siapapun, tapi aku juga tidak bisa mencegah rasa sakit yang datang karena suka denganku.

***** 

Aku dikejutkan oleh Pasha saat baru saja membuka pintu rumah. Dia sedang serius menatap layar laptopnya di meja ruang tamu. 

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Pasha menjawab dan kini menatapku. Wajahnya tetap datar dan tanpa senyum.

"Kok Mas ada di rumah? Tadi kan berangkat kerja?"
Aku memang tahu dia berangkat kerja karena berangkat sebelum aku kampus. Pasha kini menegakkan diri dan menatapku lagi.

"Udah tadi." jawabnya singkat. Tentu saja hal itu membuat aku mengernyitkan kening. Kok kayak kantor milik keluarganya saja bisa pulang seenaknya sendiri. Akhirnya aku masih berdiri di depan sofa saat dia kembali mendongak menatapku.

"Duduk Za."

Perintahnya itu aku turuti. Akhirnya aku duduk dan masih menatapnya yang kini sudah menutup laptopnya. Lalu kembali menatapku.

"Kamu udah mau lulus kan?"
Kuanggukan kepala mendengar pertanyaannya. Pasha kini mengedarkan pandangan ke sekitar, lalu kembali ke arahku.

"Ada uang buat bayar kuliah?"

Aku menganggukkan kepala, Ayah memang selama ini menabung untuk pendidikanku ini. Pasha tampak mengernyitkan kening tapi kemudian dia menyugar rambutnya. Tampak berat saat ingin bicara.

"Aku aja yang bayarin, itu ditabung aja."

Ucapannya membuatku mengernyitkan kening lagi. Kugelengkan kepala "Nggak usah Mas. Lagipula kan Mas juga butuh uang, Za ada kok."

Pasha masih menunggu ucapanku saat aku menatapnya. Tapi aku kembali merasa gugup kalau harus bertatapan dengannya.

"Za, kamu istriku dan tanggung jawabku. Yah mungkin aku masih harus bekerja keras untuk membiayai kehidupan kita. Tapi aku akan menjadi yang terbaik dalam hidupmu. "

Pasha sangat manis setelah mengucapkan itu. Dia memberesi laptopnya dan langsung beranjak masuk ke dalam kamar. Au hanya bisa menatap punggungnya yang menghilang. Siapa sebenarnya Pasha ini? Kadang aku masih ragu apakah dia sebenarnya seperti ini? Ada ada hal lain yang disembunyikannya?

BERSAMBUNG

HARAP BERSABAR YA YANG BACA INI. Yang udah tahu Pasha anak siapa adik siapa nikmatin aja cerita ini. Nanti ada kok cerita Pasha kenapa dia bisa jadi seperti ini. Nikmati dulu alurnya.

SURPRISE WEDDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang