Bab 08 Pasha

28.1K 4K 87
                                    

Pasha itu ya Pasha. Kalau dulu, aku hanya mengenalnya dia sebatas pria yang mengontrak di depan rumahku dan selalu bertampang serius. Kini pun tidak banyak berubah setelah aku menjadi istrinya. Bahkan setelah keintiman kami di dalam kamar, Pasha akan berubah menjadi pria yang tak terjangkau lagi.

Tapi aku lebih bisa rileks mengetahui dia tak berumur lebih dari 30 tahun. Masih tidak jauh banget usianya dariku. Semalam dia mengatakan dengan jujur kalau usianya itu baru 25 tahun. Bohong berarti dia. Tapi alasannya bohong sama aku karena aku terus memanggilnya Om saat pertama menyapa.

Tadi pagi dia memberiku uang untuk jatah belanja. Katanya itu gajinya dan semua diserahkan kepadaku. Aku sendiri tidak mau boros-boros mengingat Pasha sudah mempercayakan kepadaku. Dia malah cuma minta uang bensin saja kepadaku, katanya uang makan siang sudah dapat dari kantornya tempat dia bekerja.

"Za, ntar anterin ke mal yuk."

"Mau ngapain? Aku mau ke pasar belanja. Terus masakin Mas Pasha."

Kanya menatapku dengan alis terangkat. "Beneran Bang Raihan nyesel nggak ngelamar kamu dari dulu ya. Duh kamu itu emang istri idaman. Setia cek, hemat cek, sayang suami cek."

Aku hanya menggelengkan kepala mendengar ucapan Kanya. Apaan sih, aku memang berjalan di garis yang tepat. Kalau sudah menjadi seorang istri itu ya harus menjalankan semua hak dan kewajiban.

"Udah ah. Pulang yuk."

"Mal dulu. Aku traktir deh. Ada yang mau aku beli Za."

Aku akhirnya menganggukkan kepala, kalau Kanya sudah merayu begini akan susah menolak.

"Baik, tapi bentar loh."

*****

Hanya saja nganterin Kanya ke mal itu kayak nganterin orang sekampus. Dia itu milihnya lama, belum lagi nggak Nemu yang udah dicari terus masih lama juga naik turun cari yang lain. Alhasil kami malah kena hujan lebat dan harus berteduh dulu. Sampai rumah udah mau Maghrib. Mana sempat aku belanja juga. Pasti Pasha juga sudah pulang. Aku segera membuka pintu yang memang sudah terbuka.

"Assalamualaikum."

Tidak ada jawaban, saat aku memasuki ruang tamu. Tapi pintu kamar sudah terbuka. Aku segera melangkah masuk ke dalam kamar sambil menenteng baju yang tadi dibeliin Kanya. Katanya sebagai hadiah karena udah menemani dan permintaan maaf karena jadi lama.

Pasha baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut basahnya.

"Mas... "

Aku mendekatinya dan mengulurkan tangan untuk mencium tangannya.

"Dari mana?"

Aku meletakkan bungkusan baju ke atas kasur lalu duduk di tepinya. Rasanya begitu lelah setelah tadi diajak berkeliling.

"Ada wa kok tadi Za ke hp nya Mas."

Aku menjawab sambil membuka tasku dan mengambil ponselku. Udah dibaca memang karena udah centang biru.

Pasha hanya menganggukkan kepala, dia lalu mengambil kaos bersih dari dalam lemari.

"Belanja baju?"
Dia melirik bungkusan baju di atas kasur.

"Owh ini... "

"Za, aku nggak ngelarang kamu belanja. Enggak. Tapi inget waktu, aku tadi sempat panik saat pulang kamu nggak ada di rumah. Kamu kasih kabar setelah pukul 4. Yang artinya udah berapa jam setelah kamu pulang dari kampus?"

Aku terkejut dengan ucapan Pasha. Meski tidak berteriak dan dikatakan dengan pelan, kenapa rasanya aku pingin nangis?

"Za... Minta maaf Mas. Tadi Kanya maksa gitu terus kita kejebak hujan... "

Tapi ucapanku terhenti saat Pasha malah melangkah keluar. Dia marah.

*****

Sampai setelah salat isya, Pasha tidak masuk ke dalam kamar. Aku tadi mandi dan salat Maghrib, lalu membaca Alqur'an sampai menjelang isya'. Pasha memang berpamitan pergi ke masjid dekat rumah.

Hanya saja setelah aku melipat mukena, dan melihat jam yang memperlihatkan pukul setengah sembilan malam aku mulai khawatir. Akhirnya aku mengecek ke ruang tengah dan tidak ada juga Pasha di sana.

Aku lapar dan ingin menggoreng telur saat mendapati nasi goreng sudah terhidang di meja makan. Pasha masak?

Saat aku menyendok nasi goreng itu, terdengar Pasha mengucapkan salam dan aku melihatnya masuk.

"Mas... Kok sampai jam segini?"

Pasha kini melangkah ke arah meja makan dan menarik kursi untuk duduk di sana.

"Kenapa? Khawatir?"

Pertanyaannya yang datar itu membuat aku merasa tersentil. Dia balas dendam sama aku?

Aku hanya diam dan kini duduk sambil menyuapkan nasi goreng yang ternyata enak rasanya.
Pasha kini hanya diam dan menatapku.

"Za minta maaf tadi nggak ngasih tahu cepat. Za pikir kan cuma sejam doang di mal gitu tahunya lama."

Aku akhirnya mengatakan itu dan membuat Pasha kini menghela nafas. Dia mengusap wajahnya.

"Jangan diulang ya?"

Dia mengatakan itu dengan lembut membuat aku malah makin ingin menangis. Aku menganggukkan kepala dan mulai menyuapkan nasi goreng itu tapi tenggorokanku rasanya tercekat dan air mata sudah lolos dari mataku.

"Za... "

Pasha melihat itu dan aku langsung mengusap air mataku. Hanya saja Pasha sudah pindah duduk ke sampingku. Dia merangkul kan tangan di bahuku. Mengusap-usap punggungku. Tangisku malah makin tergugu.

"Aku tuh tadi pulang awal, pengen ketemu kamu. Tapi kamunya nggak ada. Terus kelaperan, nungguin kamu juga nggak pulang-pulang. Nah aku jemput ke kampus tapi kamu nggak ada. Udah khawatir banget. Terus baru liat wa kamu. Rasanya tuh pengen nyusulin kamu gitu dari mal dan seret kamu pulang."

"Mass... "

Aku makin menangis dan Pasha masih mendekapku.

"Terus liat nasi putih dan ada ide buat nasi goreng gitu. Padahal aku pengen makan masakan kamu. Kan tadi kamu bilang mau masakin aku sop ceker ayam sama tempe goreng."

Aku merasa bersalah mendengar semua itu.

"Maafin Za."

Pasha hanya diam mendengar permintaan maaf ku. Aku masih terus menangis sampai akhirnya lelah. Bahkan karena mungkin tumpukan rasa lelah dari mal tadi aku malah tertidur di pelukan Pasha. Aku tersadar saat merasakan dia menggendongku begitu saja. Lalu membaringkan aku ke atas kasur.

"Tidur yang nyenyak."

Bisikannya itu mengantarkan ku ke alam mimpi. Ah kenapa punya suami baik begini malah aku penuh prasangka sejak kemarin? Maafin aku ya Mas.

Bersambung

Hayooo ramein yuukkk

SURPRISE WEDDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang