Bab 24 Mulai jujur

20.6K 3K 90
                                    

Bagaimanapun juga suamiku itu imam bagiku. Aku menuruti Pasha yang mengatakan tidak kepada Mbak Jingga, karena usahanya ingin membawaku sementara pergi dari rumah. Sebenarnya, aku tahu apa yang mereka bicarakan. Karena meskipun aku tidak diberitahu, pembicaraan mereka dapat ditebak dengan begitu gamblang. Yaitu menyangkut tentang Nina dan Ical. Maka di sinilah aku sekarang.

"Jadi, Mas udah siap untuk bicara?"
Aku sekali lagi menanyakan hal itu kepada Pasha, sejak 2 jam yang lalu kita duduk berdua di atas tempat tidur. Hari sudah sangat larut, sebenarnya aku sudah mengantuk dan begitu lelah. Hanya saja aku memang perlu kepastian dari Pasha, sehingga aku bisa mengambil langkah selanjutnya.

Pasha juga tampak begitu lelah, aku bisa melihat dari lingkaran hitam di bawah matanya. Pasti semalam dia juga tidak tidur karena kondisi Ical. Hal itu menguatkan aku akan beberapa dugaan yang belum aku utarakan kepada Pasha. Dia memakai kaos putih dan juga celana kargo selutut. Tampak begitu santai, tapi aku tahu hatinya tidak sesantai itu.

"Za, kamu udah tahu kan aku punya masa lalu?"

Pertanyaannya itu membuat aku menganggukkan kepala. Kugeser tubuhnya yang bersender di tumpukan bantal di belakangku. Kalau malam begini, pinggangku rasanya begitu pegal. Aku mendekati Pasha yang duduk di sebelahku. Dia mencoba untuk menatapku dengan tenang.

"Za tahu. Dan Za juga tahu Mas Pasha menyimpan sebuah rahasia yang sangat besar. Za tahu juga kalau keadaan Mas, sebenarnya jauh lebih baik dari saat ini." Kuhela nafasku dan kini mencoba juga untuk menemukan tatapan Pasha. Netra kami bertemu. Ada pengharapan di manik matanya yang jernih itu.

"Tapi Za nggak tahu apakah Za dapat menerimanya."
Mata Pasha sedikit melebar mendengar pengakuan jujur ku. Iya, aku sepertinya aku belum siap menerima fakta apapun di balik masa lalu Pasha.

Kali ini Pasha menyugar rambutnya yang hitam tebal itu. Menghela nafas lalu seperti menguatkan hatinya sendiri. Tangannya terulur untuk menggenggam jemariku. Hangat rasanya.

"Aku memang tidak pantas untuk diterima atas kesalahan di masa lalu. Bagi Ibu dan Bapak aku ini anak yang bandel dan gagal. Bagi Clara, aku hanya kekasih yang brengsek. Bagi saudaraku Mbak Jingga dan Mas Angga, aku hanyalah adik yang manja dan tidak bisa diatur. Aku memang tidak pantas menerima maaf mereka. Tapi Za..."

Kali ini aku bisa melihat  ada air mata di pelupuknya. Sesulit itukah masa lalunya?
Dia menarikku masuk ke dalam pelukannya. "Aku tidak bisa kalau kamu tidak menerimaku. Aku tidak bisa membayangkan, setelah mendengar ceritaku kamu akan membenciku dan pergi dariku."

Suaranya terdengar serak, aku tahu Pasha menangis. Seberat itukah masalah ini? Atau memang benar dugaan ku kalau ...

"Mbak Nina sama Ical itu bagian dari masa lalu Mas kan?"

Aku menarik diri dari pelukan Pasha setelah mengucapkan itu. Raut wajah Pasha tampak memerah, tapi dia tidak terkejut mendengar penuturan ku. Sedangkan hatiku, tampaknya sedang bersiap untuk menerima semua hal yang akan menyakitkan.

"Terlihat sekali ya? Sampai kamu bisa menduganya?"

Jantungku berdegup keras mendengar penuturan Pasha. Jadi memang benar kan mereka ada hubungan? Atau Ical itu...

Pasha tiba-tiba menggenggam kedua tanganku. Tampak begitu erat dan tak membiarkanku untuk melepaskannya.

"Akan aku ceritakan semuanya Za, tapi tolong hapus semua dugaan dan prasangkamu. Aku tahu, kamu pasti sudah akan memakiku saat ini. Hanya saja Za...tidak seperti itu."

Kukernyitkan keningku mendengar ucapannya. Kalau bukan seperti itu kenapa dia sangat akrab dengan Ical? Pasha mengusap kepalaku dengan perlahan.

"Aku memang pernah bandel dan juga mengkhianati cinta seorang wanita, yaitu Clara. Dia sudah aku kecewakan begitu dalam, ibu dan bapak juga sudah aku kecewakan. Karena mungkin kesombonganku di masa lalu membuatku terjatuh di lubang yang salah."

Ada jeda setelah Pasha mengawali ceritanya. Aku juga tidak menjawab apapun, masih mencerna kemana arah pembicaraan ini.

"Dan Nina memang bagian dari masa laluku..."
Kalimat selanjutnya itu, meski sudah aku duga masih menimbulkan nyeri yang begitu dalam. Inisial di kalung yang aku temukan kemarin itu, benarkah Pasha dan Nina?

"Tapi dia bukan..."

Ucapan Pasha tiba-tiba terhenti oleh suara dering ponsel. Pasha langsung meraih ponselnya yang diletakkan di atas nakas. Menatapku sejenak dan menerima panggilan itu...

"Assalamualaikum... Iya Mbak gimana?"
Kening Pasha berkerut mendengar penjelasan di ujung sana lalu raut wajahnya seketika berubah. Dia mengalihkan tatapannya kepadaku.

"Astagfirullah. Aku dan Za segera ke sana."

Dia terlihat panik lalu mematikan panggilan itu.

"Za ... Bapak masuk rumah sakit."

Bersambung
Nabila keburu bangun nih jadi lanjut besok yaa...

SURPRISE WEDDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang