BAB 26 SUDAH SAATNYA

34.9K 3.3K 140
                                    

Malam itu, akhirnya Pasha dan bapak pulang. Semuanya berkumpul termasuk Mas Angga, kakak tertua Pasha yang selama ini belum pernah bertemu denganku. Sosok yang bergitu berwibawa itu sangat ramah kepadaku, aku merasa diterima di keluarga Pasha. Tapi bagaimanapun juga tetap merasa terasing, setelah selama ini hidup sederhana dengan Pasha. Aku merasa belum bisa menyesuaikan gaya hidup keluarga ini yang ternyata orang berada. Setelah cerita Mbak Jingga tempo hari, aku memang akhirnya mengetahui kenyataan yang sebenarnya, Pasha adalah anak dari pemilik salah satu perusahaan terkenal di kota ini. Terkejut, satu hal dari hal-hal yang lainnya mengisi seluruh pikiranku. Ini tidak main-main, karena masuk ke dalam lingkup lingkungan yang belum pernah aku masuki. Minta penjelasan Pasha pun aku belum bisa, dia masih begitu sibuk dengan kondisi Bapak.

"Sha, kamu harus mau kali ini. Bapak sudah nggak bisa ke kantor lagi. Meski ada Mas kamu, Angga yang sudah menghandel semuanya, tapi yang ada di Pluit itu harus kamu yang urus. Sudah saatnya Sha." Ucapan Bapak, yang malam ini tampak sudah begitu sehat membuat Pasha terdiam. Dia duduk di sebelahku, tangannya melingkar di perutku yang sudah sedikit terlihat membuncit. Aku bisa merasakan tangannya berubah menjadi kaku saat mendengar hal itu. Mas Angga, Mbak Jingga, dan juga Ibu, duduk mengelilingi Bapak. Termasuk juga aku dan Pasha di ruang keluarga yang besar ini. Semua mata sekarang sedang menatap Pasha. Aku sendiri memilih untuk menunduk, karena tidak tahu juga harus mengatakan apa. Ini bukan tempatku sebenarnya, harusnya pertemuan keluarga ini aku tidak ikut. Karena istri Mas Angga yaitu Mbak Laras dan juga Mas Orion, suami Mbak Jingga juga tidak ada di sini. Hanya saja tadi Bapak dan Ibu memaksaku untuk bergabung, karena ini hal penting untuk kami.

"Pak, Pasha udah bilang, Pasha nggak pantas nerima ini semua. Pasha udah cukup dengan bekerja di perusahaan Mas Angga. Za sendiri pasti juga tidak mau kalau harus pindah ke sini, iya kan Za?" Pasha menoleh ke arahku dan netra kami bertemu. Aku bingung menjawab apa, karena dia juga belum cerita apapun kepadaku. Tentang kondisinya dan juga keadaannya yang sebenarnya. Marah? Seharusnya aku memang marah, tapi aku mengesampingkan egoku untuk kali ini. Aku tidak bisa begitu saja memarahi Pasha dan membuatnya malu di depan keluarganya. Karena aku tahu, dia sudah merasa sangat tertekan dengan kondisi Bapak.

"Za, nggak tahu harus jawab apa." Akhirnya aku mengatakan itu. Kedua mata Pasha menyipit menatapku, seperti ada yang mau dikatakannya secara pribadi kepadaku. Tapi kemudian dia menghela nafas dan mengusap kepalaku. "Nanti, aku akan ceritakan semuanya Za, tapi untuk malam ini sepertinya kita harus mengambil keputusan."

"Kia di sini saja, sama Ibu. Mungkin Kia belum tahu keadaan Pasha yang sebenarnya, dan Ibu yakin Kia juga merasa sangat dibohongi, tapi ibu mohon kalau Kia mau ya ada di sini?" Aku dan Pasha mengalihkan tatapan kepada Ibu yang duduk persis di samping Pasha. Wanita yang masih terlihat cantik meski usianya tak muda lagi itu kini tersenyum dengan tulus kepadaku. Aku melihat Bapak mengulurkan tangan dan mengenggam jemari Ibu. Ada kasih sayang terpancar di sana.

"Makasih banget Bu, Za memang baru tahu kenyataan ini semua itupun mendengar ceritanya Mbak Jingga..." Aku menatap Mbak Jingga yang langsung tersenyum kepadaku, seperti mengatakan 'Ayo Za, ungkapin aja isi hatimu'. Dan aku kembali menatap Ibu dan Bapak, tapi tidak menoleh ke arah Pasha. Aku tahu dia juga terkejut dengan ucapanku. "Tapi, Za ingin mendengar semuanya dari Mas Pasha dulu. Karena Za butuh penjelasan." Akhirnya aku menoleh ke arah Pasha. Tatapannya tampak begitu pasrah.

"Pa, Ma... beri mereka waktu terlebih dahulu. Angga pikir, masih ada yang belum terselesaikan diantara mereka. Pasha belum jujur kepada Zaskia." Mas Angga yang bicara. Dia menatap kami berdua, dan aku tahu ucapannya benar. Aku dan Pasha masih perlu banyak bicara.

*****

Akhirnya menjelang pukul 10 malam, Bapak mengatakan menunggu keputusan kami berdua dan memberi kami waktu untuk bicara. Kami masuk ke dalam kamar, hanya saja di sini aku mulai merasa marah dengan Pasha. Dia bersikap begitu tenang kepadaku.

"Apa yang sedang kamu lakukan Za?" Pertanyaan Pasha membuat aku menghentikan aktivitasku yang sedang melipat baju dan memasukkan ke dalam koper. Aku ingin pulang, atau mungkin minta Mas Raja menjemput. Aku tidak bisa di sini lagi kalau malam ini Pasha masih belum mau jujur.

"Za, besok mau pulang," jawabku saat Pasha mendekat dan duduk di sebelahku di tepi kasur. Dia mengernyitkan kening, seperti bingung.

"Loh, kok pulang? Kan Mas bilang kita bicara dulu, Za. Ada banyak yang harus kita bicarakan." Dia mengulurkan tangan dan menghentikan aktivitasku. Bahkan kini memutar tubuhku untuk menghadap sepenuhnya kepadanya. Pasha tampak begitu tampan dengan rambut basah, kaos polo putih dan celana santai selutut.

Kuhela nafasku dan menatap Pasha. Aku merasa jauh dengannya, perbedaan kami terlalu jelas. Dia anak orang kaya, dan kehidupan sosial kami tentu saja berbeda. "Mas udah bohong ama Za, bahkan Mas juga bohong sama Ayah." Aku merasa sedih mengingat Ayah begitu percaya dengan Pasha sehingga percaya sepenuhnya kepada Pasha untuk menikah denganku. "Terus, ada Mbak Nina dan juga Ical, yang pastinya Mas nggak mau cerita andai saja kemarin Za nggak denger sendiri dari Mbak Jingga. Iya kan? Mas sama Mbak Nina itu ada hubungan apa?" Emosiku seketika naik, mengingat telepon Mbak Nina kemarin yang ingin bicara dengan Pasha. Hubungan mereka pasti lebih dari teman.

Pasha masih menatapku lekat, bahkan bulu matanya tidak bergerak. Dia benar-benar memaku tubuhku di tempat. Aku tidak bisa berkutik kalau Pasha sudah melakukan hal itu. "Kamu tahu, aku belum siap. Tapi mengingat kamu mengetahui semua ini bukan dariku, maka aku akan membuka semuanya." Pasha menghela nafas setelah mengatakan hal itu. Dia mengulurkan tangannya dan menarikku lebih dekat. Jarak kami membuatku canggung. "Nina itu sebenarnya..." ucapan Pasha terhenti saat tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar. Pasha dan aku saling bertatapan untuk sesaat.

"Sha, ada Nina di bawah." Suara Mbak Jingga membuat Pasha segera beranjak berdiri, aku juga mengikutinya melangkah menuju pintu kamar. Saat pintu terbuka, wajah Mbak Jingga tampak begitu masam.

"Nina?" Pasha bertanya tapi kemudian dia segera menoleh ke arahku dan menggandeng tanganku. Saat Mbak Jingga mengatakan iya dan menyuruh Pasha segera turun ke ruang tamu yang ada di lantai satu, Pasha malah menarikku lebih dekat dan berbisik "Please Za, percaya sama aku. Apapun yang terjadi nanti, aku dan Nina nggak ada hubungan apapun selain teman." [ ]

BERSAMBUNG

TENGGOROKAN SAKIT BANGET NIH DARI TADI KETIK KOK NGGAK KONSEN.... SEGINI DULU YE....

SURPRISE WEDDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang