exam.

210 26 192
                                    

'April lagi nungguin kamu di kelas.'

Sebuah suara terdengar di telingaku. Aku melirik sekitar. Tidak ada yang kukenal di sini. Jadi tidak mungkin suara itu berasal dari bisikkan seorang manusia.

Terus, apa?

Mencoba mengabaikannya, aku melanjutkan langkah menuju ruang ujian. Bel tanda masuk belum lama berbunyi. Lorong masih dipenuhi oleh siswa-siswi yang baru saja keluar dari kantin. Sama sepertiku.

Aku menghela napas, sedikit merasa tidak nyaman.

Bukan cuma tadi saja aku mendengar sebuah suara di kepalaku. Beberapa saat lalu saat aku sedang sendirian di kelas, terjadi hal serupa. 'Dia datang', katanya.

Siapa yang tidak kaget mendengar itu? Kukira ada yang sedang membisikiku, tapi mengingat di ruangan itu hanya ada aku saja, aku sempat berpikir kalau pelakunya adalah hantu. Maka, aku pun kembali abai.

Hantu tidak akan membuatku takut.

Lalu tak lama setelahnya, seseorang benar-benar datang ke kelas. Spontan, kepalaku tertoleh.

Seorang cewek.

Awalnya aku cuek. Tapi begitu sadar dia ternyata berjalan mendekati bangkuku dan duduk di kursi yang satunya, perasaan gugup seketika menyelimutiku.

Apa? Aku sebangku sama cewek?

Yang benar saja.

Saat itu aku yang pertama datang ke kelas. Dia kedua. Otomatis, keadaan menjadi canggung. Kami juga tidak saling mengenal dan aku bukan jenis orang yang mudah berinteraksi dengan lawan jenis.

Untuk menghindari hawa tidak mengenakkan itu, aku pun pergi menyendiri ke kantin. Oh sungguh aku benar-benar melakukannya. Ya gimana. Aku benci suasana canggung. Lebih baik tidak mengobrol saja, bukan?

Dan sekarang, mau tidak mau karena sebentar lagi ujian akan dimulai, aku melangkah ragu ke depan Ruang 27, ruang ujian siswa-siswi kelas XI Ipa 6 dan XI Ipa 7 yang disatukan. Benar, dia ternyata berada di kelas tetangga.

Oh, sialnya.

Sampai di dalam kelas, hampir semua bangku telah terisi. Dia masih duduk di sana, bertopang dagu memandang ke sembarang arah. Aku meneguk ludah susah-susah. Dilihat dari depan, dia tambah—

Di detik yang sama ketika aku masih menatapnya dari jauh, bola matanya bergerak, membalas pandanganku. Dengan begitu gugupnya, aku langsung melanjutkan langkah.

Oke, baiklah, ini bukan masalah besar. Kamu hanya harus duduk berdampingan dengannya selama satu minggu ujian berlangsung. Bukan masalah besar, bukan?

Ya. Kuharap begitu.

Aku akan fokus mengisi lembar ujian tengah semester.

Aku duduk di sana, di bangku yang sama dengannya. Sempat kuketahui, nama cewek itu April. Aku memang sengaja mengecek lagi denah lokasi tempat duduk, tapi bukan berarti aku penasaran.

Ah, sudahlah.

Guru pengawas datang, keributan dari dalam kelas perlahan sirna. Hng, omong-omong, suara itu berasal dari mana, ya? Siapa yang membisikkannya? Aku tidak mengenal suara itu dan sepertinya—

"Kamu gak bawa alat tulis?"

"Eh, apa?"

Aku menoleh ke samping, mendapati sebuah tatapan bertanya.

Dia bicara padaku?

Tersadar, aku segera berbalik lagi, melihat sekeliling. Ternyata lembar jawaban kertas sudah dibagikan. Ada juga yang tergeletak di bangkuku, menunggu untuk kugilir ke belakang.

Duh, aku mikirin apa aja sih dari tadi.

.

Ujian mata pelajaran pertama hampir selesai. Sudah hampir semua soal aku isi. Di luar dugaan, ternyata aku bisa memfokuskan diri. Ya walau terkadang sikut kami selalu hampir bertabrakan, jawaban yang sedang kupikirkan pun selalu mendadak buyar.

Yah, mau gimana lagi.

Pada saat aku akan menyelesaikan soal terakhir, sebuah bisikkan yang tidak kukenal kembali terdengar.

'Jam 08.45, April bakal ngambil penghapus di tengah meja.'

Gerakan menulisku terhenti.

Baru saat itu kusadari, suara-suara yang menganggu tersebut selalu menyebutkan hal tentang April. Maksudnya apaan coba.

Aku bersikap tidak peduli, tapi tetap saja aku malah melihat ke arah jam dinding di depan kelas. 08.44. Satu menit lagi.

Eh, enggak gitu.

Di tengah kegiatan mengisi jawaban, aku salah menulis huruf. Hm, harus dihapus.

Tangan sebelah kananku kemudian bergerak ke tengah meja, tadi kulihat ada penghapus di sana. Tanpa diikuti pandangan, aku merasakan bukan penghapus yang kusentuh. Melainkan sebuah tangan lain.

Lembut sekali.

Penghapusnya di mana, ya? Mungkinkah di balik tangan di bawahku ini?

Jari-jariku mencoba menelusuri celah-celah jarinya. Setelah berhasil mendapatkan barang yang kucari, aku mengambilnya dalam sekali hentakan.

Tautan tangan terlepas.

Apa yang barusan terjadi? Hm. Aku hanya mengambil penghapus saja.

Kegiatan menghapus dilakukan dengan lancar, sebelum ada yang bicara tiba-tiba.

"Itu. Peng-penghapus aku."

....

"Penghapus kamu, bukannya yang ada di depan LJK-mu itu?"

Benar, benda kotak putih itu ada di sana.

Ayo putar otak, Cakra.

"Eng, anu. Aku lebih suka pake yang ini. Tukeran, ya." Kugeser penghapus kepunyaanku ke arahnya, tanpa berbalik.

"U-uh. Ya sudah."

Tenang, tenang, tenang, tenangkan pikiran. Anggap saja hal tadi tidak terjadi.

Huh. Aku melihat ke telapak tanganku, tersenyum tanpa sadar.

Apa aku boleh memegang tangannya lagi?

.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benci ujian tengah semester berakhir. 

cakra & april. [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang