concert.

35 9 63
                                    

Pensi akhirnya dimulai. Penantianku selama ini, berhari-hari latihan bersama Kakak kelas dan segerombolan cewek yang membenciku secara rahasia-rahasia, semuanya akan berakhir hari ini.

Aku menghirup napas lega saat sampai di gerbang sekolah yang terbuka lebar. Semua murid memakai baju bebas atau seragam ekskul. Semuanya tampak bahagia, karena hari ini adalah dimulainya acara tahunan yang sangat megah. Apalagi kalau bukan Pentas Seni.

Selain menampilkan pertunjukkan dari beberapa ekskul sekolah, pihak panitia juga mengundang penyanyi-penyanyi dari ibukota yang terkenal. Salah satunya adalah favoritku. Uh, jadi makin tidak sabar.

Aku mengenakan kaos atasan dari ekskulku, dan rok abu-abu sekolah. Ada juga tas serut yang kuselendangkan di tubuh, menambah gairah semangat berakhirnya semester satu tahun kedua di SMA.

Penampilanku dan Kakak Kelas, akan dimulai pada pukul sembilan. Memang cukup awal dan persiapan kami sebelum itu sangat singkat.

Aku dan Kakak Kelas berlatih lagi satu kali di ruang ekskul musik. Ada satu-dua orang yang ikut mendengarkan, mencari celah nada sumbang yang sesekali keluar. Dan pada akhirnya, mereka bilang 'oke' sambil mengacungkan jempol.

Pukul setengah sembilan, saat pensi sudah berjalan selama sejam, aku dan Kakak Kelas disuruh bersiap-siap di ruang penampil acara. Jantungku sudah berdebar dengan kecepatan ekstra, berjalan ke sana kemari, sama sekali tidak bisa diam. Ini kali pertama lagi aku menampilkan bakat di hadapan khalayak ramai setelah terakhir saat SMP.

"Gak usah tegang gitu," Kakak Kelas menyarankan dengan kalem. "Kamu gak naik sendirian kok."

"Hehe." Aku tersenyum, biar tidak terlalu kaku. Sejujurnya kami tidak terlalu akrab.

Kakak Kelas melanjutkan pembicaraan. "Atau kamu malu karena bakal diliatin seseorang?"

Bukan, bukan gitu.

"Siapa sih namanya. Cakra, ya."

Kok Kakak Kelas bisa tahu!

Laki-laki itu menampilkan senyum jahil. "Mau main sesuatu sama aku?"

Giliran kami untuk tampil akhirnya tiba. Di luar dugaan, sekarang aku sudah tidak tegang. Malah merasa sangat bersemangat. Karena sesuatu akan terjadi sebentar lagi.

Aku naik ke atas panggung, berdiri di posisi paling depan, menjadi pusat perhatian orang-orang yang tergabung sebagai penonton. Kakak Kelas kemudian menyusul, mengambil kursi, dan memangku gitarnya.

Pembawa acara memberiku mik, dan aku menatap ke depan.

Di mana dia?

Oke, ini akan baik-baik saja. Lakukan apa yang dikatakan Kakak Kelas tadi.

Kakak Kelas membunyikan kunci pertama, aku mengambil napas, tersenyum menghadap penonton.

Di saat itulah dia muncul.

Oh, hai, Cakra. Aku tidak malu kok diliatin kamu! Lihat saja saat pertunjukkan selesai.

Dan pertunjukkan selesai, setidaknya dari tim akustik ekskul musik. Kakak Kelas memberi kode, kami masih berdiri di atas panggung yang padahal seharusnya, giliran grup band dari ekskul musik yang maju.

"Cek-cek satu." Kakak Kelas mengetuk-etuk ringan mik di depannya, dia masih duduk. "Ada yang mau aku sampein ke cewek di sebelah aku sekarang. Gapapa kalau aku ngomongnya di sini?"

Penonton di depan kami langsung bersorak ramai. Padahal mereka baru saja bertepuk tangan begitu aku menyelesaikan lirik terakhir dari lagu yang kami bawakan.

Cakra masih di sana, memakai kaos polos berwarna maroon. Kamera DSLR hitam menggantung di lehernya. Hm, ekskul jurnalistik. Tidak aneh.

Buat dia cemburu.

"April."

Mataku mengerjap, sedikit kaget. Menengok ke samping dan baru kusadari, namaku baru saja digaungkan lewat speaker sekolah. Oh, memalukan sekali.

"Kamu mau jadi pacar aku?"

"Hah?"

Ya memang itu rencananya. Tapi tetap saja itu membuatku terkejut! Ditembak di tengah panggung, impian semua gadis. Walau ini cuma setingan, aku tetap merasa gugup.

Sesuai yang dikatakannya, di sini aku akan langsung kabur. Dan memang itu yang kulakukan. Meninggalkan Kakak Kelas yang malang sendirian di atas panggung, dengan wajah pilunya yang tidak mengenakkan hati.

Wah hebat sekali aktingnya! Terimakasih lho, Kakak Kelas. Jasamu akan selalu April kenang hingga lulus!

Aku sampai di belakang panggung dan menemukan anggota grup band ekskul musik menggodaku. Hanya cengiran minim yang kukeluarkan, sebelum akhirnya aku berlari keluar tenda panitia.

Kulihat ke arah penonton, ke tempatnya tadi berdiri.

Tidak ... ada ....

Oke, cari! Dan kejar!

Padahal kondisiku masih perlu istirahat sekarang. Napasku tidak teratur dan penglihatanku mendadak menggelap di koridor yang tengah kulewati.

Seseorang menutupi mataku dengan satu tangannya.

"Ca-cakra?"

Dia tidak menjawab dan aku setengah mati menahan debaran jantung.

Punggungku bersandar di dadanya. Leherku terasa panas akibat helaan napas seseorang yang tepat mengenai kupingku.

"Cak—"

"Kenapa kamu hobi banget buat aku cemburu?"

Eh.

"Kamu ada hutang ke aku."

"Ya-yang soal nembak?"

"Um ... atau aku aja yang nembak kamu?"

Aku berjengit, lalu meronta minta dilepaskan. "E-e-enggak usah, deh. Aku ikhlas. Gak usah, gak usah. Aku aja."

"Aku aja!"

"Ini bisa dilepasin dulu, gak?"

"Em, April."

Aku menahan napas. Aku menahan napas. Aku menahan napas.

"Kamu siap pacaran?"

"Nggak tau."

"Kalau sama aku, mau enggak?"

Ini dia nembak? Ini dia nembak?

Aku menelan ludah sampai rasanya suaranya jelas terdengar!

"Mau. Tapi ... aku gak biasa pacaran."

"Sama."

"Jadi ... gimana?"

"PDKT lagi?"

Senyumku terkembang. "Boleh."

cakra & april. [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang