'Cakra sama sekali gak nyadar kalau dia lagi nembak kamu.'
Aku sebenarnya sudah gugup setengah mati sekarang. Saat dia tiba-tiba mengatakan sesuatu tentang suka. Ditambah ada nama Cakra dan April yang menyertainya.
Apa yang bisa kulakukan? Mulutku sedikit terbuka, tubuhku menegang.
Sementara dia sendiri tidak sadar sedang menyatakan perasaannya padaku. Keadaan ini terlalu sulit untuk ditebak.
Aku menelan ludah, memberanikan diri untuk mengeluarkan suara.
"Cakra?"
"Iya, April?"
"Tadi ... kamu ngomong apa?"
"Hm?" Itu bingung atau beneran bingung, sih.
"Ngomong apa tadi?"
"Cakra suka sama April?"
Satu debaran jantung yang tak biasa kembali terdengar. "I-iya. Itu, maksudnya apa?"
Kening Cakra mengerut. "Gak ada maksud apa-apa. Cakra cuma suka sama April."
Cuma?
"Emang kenapa?"
Dengan tampangnya yang biasa saja itu, dia seolah menganggap kalau kata suka adalah sesuatu yang tidak penting dalam hidupnya. Padahal, 'kan—
"Kenapa kalau Cakra suka sama April? Kamu keberatan?"
Aku membiarkannya terus bicara. Kalau dihitung, dia sudah mengatakan 'suka' sebanyak lima kali, serta 'Cakra' dan 'April' juga lima kali.
Lima kali.
Lima kali.
Kurang banyak apalagi.
Aku tidak sepenuhnya menatap pada cowok itu, melainkan ke baju seragamnya yang entah kenapa bisa terlihat sangat putih.
Cakra maju selangkah, yang spontan aku langsung mundur. "Kamu kenapa?"
"Eh, enggak apa-apa." Dia maju, aku mundur. Dia maju, aku mundur.
Kemudian berikutnya, senyumnya terlihat. "Cakra suka sama April, lho."
"Terus?"
Senyumnya melebar. Semakin terlihat manis. "Cakra suka sama April!" Semua orang di sekitar kami serentak mendongak.
"Iya-iya oke gak usah diperjelas lagi. Udah, ah. Bye." Hanya itu yang keluar dari mulutku sebelum aku menghilangkan diri dari hadapannya.
Gak habis pikir.
Gak habis pikir.
Cakra, kamu emang sengaja ya pengen buat aku malu?
.
Dari pertama aku mendengar rahasia Cakra lewat si bisikan misterius, aku sudah menduga kalau orang ini memang menaruh hati padaku.
Tidak aneh sebenarnya mengingat sudah sering ada cowok yang menyukaiku. Mereka juga dengan terang-terangannya mendekatiku, tanpa memikirkan resiko aku pasti akan menolak mereka.
Tapi ini. Kenapa Cakra terlihat berbeda? Dia sedikit polos? Tapi kenapa gampang sekali menggombal? Tidak sadar pula.
Apalagi ....
Tadi dia terus-terusan bilang suka padaku.
Di saat dia sendiri bahkan tidak berniat untuk menyatakan perasaan. Hm. Cakra, kamu terlalu impulsif.
Oh, otak. Please, jangan mikir begini. Tapi—
Aku ingin berpacaran dengan Cakra.
"Kenapa, sih? Daritadi kek yang lagi mikirin sesuatu terus."
Saat kembali ke kelas, kuketahui guru yang akan mengajar ternyata tidak masuk. Maka tidak aneh kalau kelas menjadi super ribut dan banyak terjadi obrolan di sana-sini.
"Bukannya harusnya kamu seneng? Cakra suka sama kamu juga tuh."
Aku meliriknya dari lipatan tangan. "Enggak sesimpel itu juga kali, Bob."
"Kenapa?" Nadanya meninggi. "Tinggal pacaran aja ribet amat."
"Aku baru kenal dia seminggu."
"Gak berarti kalian harus nunda-nunda."
"Kecepetan." Aku juga meninggikan volume. "Biarpun aku tau dia suka ke aku, tapi gak segampang itu hubungan kita buat diseriusin."
Wajah Bobi tampak lelah, dan menghela napas. "Kamu perlu bantuan aku?"
"Hah?" kagetku. "Kagaklah. Ini urusan aku. Gak perlu ikut campur."
"Ya terserah." Dia berdiri. "Cuman, aku saranin. Kalau kamu beneran mau pacaran sama dia, kasih tau dia langsung. Gak berarti nembak juga. Ya kamu taulah, cewek paling bisa ngode. Kecuali kalau si Cakranya gak peka."
Hm.
Ketika dua orang perempuan dan laki-laki sama-sama mengetahui kalau diri mereka saling suka, lantas, apa yang akan mereka lakukan selanjutnya?
.
'Cakra hari ini piket.'
Mm.
Aku berjalan dengan pelan menuju kelas tetangga. Koridor masih dipenuhi banyak orang. Ada sedikit ruang untuk meloloskan diri dari aliran rombongan siswa yang hendak ingin pulang.
Ke mana, Bobi? Tidak biasanya dia langsung pergi begitu saja tanpa menanyaiku hari ini aku naik angkot atau tidak.
Dengan terseret-seret, aku akhirnya sampai di kelas yang sedang kutuju. Jarak antar kelas di sekolah ini memang tidak dekat-dekat amat.
Terlihat dari kejauhan, pintu kelas sana masih terbuka. Tapi ada seseorang yang sedang menghalangi pintu masuknya.
Eh. Bukannya itu cewek yang waktu di kantin tadi, dia makan sama Cakra?
Aku mungkin akan berani jika bertanya kepada orang asing, termasuk padanya. Tapi kalau menanyakan sesuatu tentang Cakra, tidak, aku tidak berani.
Maka, aku pun menunggu di luar. Berdiri berbalik memunggungi depan kelas.
"Devina! Sori, tadi aku abis dari toilet."
"Oh, gapapa, Bobi."
Tunggu sebentar.
Bebarengan dengan aku yang berbalik, tiga orang di depanku langsung menatap padaku juga. Bobi dan Devina yang sedang berhadapan. Dan ... Cakra yang lagi memegang sapu, baru sampai di mulut pintu.
"Bobi?" tanyaku, lebih terdengar spontan.
Dia menyeringai. "Oh, hei." Dan sangat bersemangat. "Kenalin, Pril. Devina. Pacar aku."
Saat itu, aku dan Cakra langsung bertatapan.
Sama-sama kaget.