12 a.m.

33 9 86
                                    

Kenapa?

Kenapa Cakra bisa tahu kalau aku sedang tidak baik-baik saja?

Aku benci. Aku benci. Aku benci saat orang lain menilaiku lemah.

Aku hanya punya masalah. Semua orang mempunyai masalah. Lantas, apa mereka disebut lemah karena mengalami masalah?

Aku tidak ingin Cakra menganggapku lemah. Aku tidak akan memberitahunya mengenai masalahku. Seorang April .... April itu kuat!

Sungguh, tidak enak sekali ketika kamu berada di lingkungan yang tidak menginginkanmu. Hampir semua orang di sana membicaranku di belakang. Berkata bahwa aku seorang yang tidak tahu diri.

"Si April sok kecantikan banget, sih. Dia pikir, dia bisa ngegebet Kakak Kelas."

"Mana langsung jadi pasangannya lagi. Songong kali jadi anak baru."

"Bukannya dia deket sama Cakra juga, ya? Maruk amat, sih."

"Mending dia keluar aja, deh. Ngancurin ekskul musik aja yang ada."

Iya, aku ingin keluar. Seandainya bisa.

Hal paling menyakitkan adalah tahu ketika tidak seorang pun yang bisa kamu jadikan teman. Menyakitkan juga ketika tahu orang-orang di sekitarmu tidak ada yang mengharapkan kehadiranmu.

Bagaimana kalau dua kombinasi itu dijadikan satu? Kesepian dan kebencian.

Benar. Beruntung ya, aku mengalaminya.

Haha.

.

Saat itu sudah pukul sebelas malam. Udara yang berhembus semakin dingin. Aku merapatkan jaket dan kaki.

Tidak ada seorang pun di sini selain aku. Ya memang itu yang kubutuhkan. Kesendirian. Dan kehampaan.

Aku duduk lebih dekat ke dinding, menyandarkan bahu ke sana. Inginnya sih tidak memikirkan apa pun, tapi sialnya air mata itu keluar lagi.

Kenapa, sih? Kenapa, sih? Kenapa, sih?

Susah sekali untuk tidak menangis.

Kurasakan punggungku berguncang, sementara aku membiarkan tangisan itu keluar, tidak berniat meredakan isakan. Lebih baik aku mengeluarkannya saja. Daripada terus ditahan. Tidak baik untuk kesehatan. Mumpung lagi sendirian.

Tapi itu tidak berlangsung lama. Seseorang mendekat ke tempatku duduk.

Aku langsung mengangkat kepala.

"April?"

....

"Ihsan?"

Hatiku sedikit kecewa.

Meski pencahayaan lampu di sini tidak terlalu terang, tapi aku yakin cowok itu pasti menyadari diriku yang sedang menangis. Dia duduk di sebelahku, agak jauh tapinya.

"Kok sendirian? Gak sama yang lain?"

Kamu bercanda? Memangnya kamu tidak sadar kalau teman-teman seekskulmu itu begitu membenciku? Tapi aku hanya menjawab, "Lagi pengen sendiri dulu."

Aku tidak tahu apa Ihsan memang tidak menyadari kondisiku sekarang atau dia berusaha tidak membahas itu. "Eng, gak bareng Cakra?"

Hah?

"Aku tadi liat dia di sana. Liatin kamu dari jauh."

Oh.

Berusaha tidak berlebihan dalam berekspresi, aku segera membalas, "Ya udah. Abain aja."

Abain.

Acara keliling-keliling pun akhirnya dimulai. Para anak kelas 10 dibangunkan secara mendadak pada pukul 12 malam. Sementara para kakak kelas sudah bersiap di posnya masing-masing.

Aku kebagian menjaga di dekat perpustakaan. Berdua dengan seorang perempuan yang membenciku juga. Alhasil, suasana canggung pun tercipta. Sepanjang menunggu anak-anak kemari juga, tidak ada percakapan apa pun yang terdengar.

Sinar lampu di sini sama gelapnya dengan yang di depan laboratorium kimia, mengharuskan kami berdua menggunakan senter. Dan yang dinanti pun tiba. Satu-persatu kelompok adik kelas, muncul di hadapan kami secara bergantian.

Tapi di tengah jalan, aku diminta pindah ke pos lain. Katanya ada anak kelas 11 yang pingsan, membuat formasi pos terpaksa harus ditukar.

Lagi-lagi aku yang direpotkan. Kenapa tidak dia saja yang disuruh pindah? Oh ya, anak baru 'kan harus ngalah. Selalu menjadi pesuruh dan cadangan.

Aku berjalan lambat menuju pos satpam, tempat yang katanya harus kudatangi. Dan tak lama kemudian, senter di tanganku mendadak meredup. Aku mulai gelisah. Ini masih setengah perjalanan. Oh, bagaimana aku akan menuju ke sana.

Sekelilingku gelap, tidak ada suara apa pun yang terdengar. Aku ketakutan.

Ini ... tengah malam, 'kan? Ke mana orang-orang?

Sekelebat angin tiba-tiba menembus kulitku. Bulu kudukku langsung berdiri, diiringi dengan tubuhku yang bergetar hebat.

Aku berjongkok, menutup kedua telinga dengan tangan.

Enggak, enggak, enggak. Enggak ada apa-apa di sini. Aman kok, aman kok. Kamu gak akan disakiti.

Suara tangisan ... terdengar.

"Cakra!"

Aku berteriak.

"Cakra! Cakra! Cakra! Ke sini! Aku takut! Aku takut!"

Tapi dia tidak pernah datang.

cakra & april. [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang