canteen.

97 18 169
                                    

'April masih malu gara-gara tadi kamu gombalin.'

Aku semakin menyembunyikan wajahku di lipatan tangan.

Malu. Malu sekali.

Kenapa pula tadi aku mengatakan itu?

'Takutnya, aku malah fokus ke kamu.'

What the hell, Cakra? Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kata-kata macam begitu bisa keluar dari mulut sucimu itu?

Aku tidak salah mengatakan kalau mulutku suci. Sumpah, aku sama sekali gak pernah gombalin cewek. Ngobrol jarang, deket enggak, lantas tadi?

Bisa gila aku.

Kugerakkan kepalaku ke samping, mengingat momen anu tadi.

Saat aku menemukannya sedang memandangiku dari jarak jauh, aku seolah ingin ikut memandanginya juga. Ya ampun, tidak habis mikir memang. Aku pun kelepasan tersenyum, sangking tidak bisa menahan perasaanku padanya.

Perasaanku padanya?

Apa yang aku rasakan ke April?

Dia cewek. Dia teman sebangkuku di ujian tengah semester. Tidak lebih. Hanya cewek biasa yang kebetulan kelasnya bersebelahan denganku.

Cewek biasa?

Hm.

Kalau dipikir, sampai saat ini, aku masih dapat mendengar sebuah suara menggantung di kepalaku. Terus menyebutkan segala sesuatu tentang April. Sudah seminggu pula.

Apa-apaan itu? Apa dia berusaha membuatku dekat dengan April?

Kenapa harus April? Orang yang pada pandangan pertama, aku memang sudah—

Ugh.

Tapi sumpah ....

April, kenapa tadi kamu cantik banget. Aku gak tahan pengen nengok ke samping terus. Tangan kamu juga ngapain kamu gerak-gerakkin mulu. Ngode biar aku genggam lagi?

Oh, no, no, no.

Suara tertawaan mengejek kemudian terdengar. Menginterupsi lamunanku.

"Cakra, Cakra. Bisa banget sih tadi kamu gombalin cewek kelas sebelah." Cekikikannya semakin tidak terkendali. "Tapi hebat, lho. Aku aja yang dengernya sampe baper. Gimana kalau cewek itu, ya."

Aku langsung menetralkan wajah, menopang kening, bersikap seolah sedang tidak ingin membahas hal sensitif tersebut. Tapi kurasa itu tidak mempan terhadap satu cewek tukang gosip ini.

"Kamu suka sama dia ya, Cak?"

"Enggak."

"Halah, gak usah ngelak. Tadi itu pas upacara udah ngejelasin semuanya, lho."

Ya kalau tahu kenapa harus nanya lagi?

Dasar cewek.

Devina yang duduk di depanku sedang menyondongkan tubuhnya ke samping. Kakinya berada di atas kakinya yang lain. "Aku denger-denger, pas hari pertama UTS, kamu megang tangan—"

Tidak baik, aku harus kabur.

Memanfaatkan guru pelajaran pertama yang belum datang ke kelas, aku berniat akan pergi ke toilet, mengungsi dari cewek penggoda yang super annoying itu. Tapi kemudian—

'April juga lagi jalan ke toilet.'

"Cak. Aw!"

Punggungku tertabrak.

"Kenapa, sih. Kok tiba-tiba berhenti? Hidungku sampe sakit, nih."

"Dev," kataku. "Kantin, yuk."

.

Kantin di hari Senin setelah upacara memang selalu ramai. Setengah ramainya seperti ketika istirahat. Guru pelajaran pertama memang suka telat masuk, hampir setengah jam malah.

Aku pergi ke kantin sebenarnya bukan untuk jajan. Untuk menghindari April tentu saja!

"Cakra, woy!" Ekspresi ngamuknya masih terlihat meski sekarang dia lagi makan. "Jawab pertanyaan aku yang tadi."

"Kamu gak nanya apa-apa tadi."

"Bukan! Soal kamu yang—"

"Urusan sama Anda apa?"

"Heh! Kok nyolot, sih." Bibir bagian bawahnya dimanyunkan. "Cerita-cerita dong."

"Aku bukan cewek yang gampang curhat-curhat kayak gitu."

Jadi begini keadaannya. Devina selalu duduk di depan bangkuku. Selama dua tahun. Yang dari waktu ke waktu, dengan sendirinya kami malah sering mengobrol.

Aneh, 'kan?

Kuat sekali aku berteman dengannya. Tipe cewek yang sering dihindari oleh kebanyakan cowok. Apalagi kalau bukan karena dia berisik.

"Dikit-dikit gapapalah. Atau mau aku bantu PDKT?" Nada bicaranya begitu ceria.

Aku menjawab dengan malas, "Gak perlu. Aku bisa sendiri."

"Cie-cie. Jadi mau PDKT, nih?"

Gak jelas.

Devina menyedot jus dinginnya. "Gas aja, Cak. Biarpun geli aku bilang gini, tapi jujur ya, tampang kamu lumayan oke. Oke banget malah. Modalnya cukup. Pinter ngegombal juga. April pasti mau sama kamu."

Aku meliriknya, menyadari sedikit kejanggalan. "Tau darimana kamu dia namanya April?"

Senyumnya dia tunjukkan. Senyuman seorang pengejek. "Taulah. Devina."

Bangga kali lah dia.

"Pril. Gimana tadi rasanya digombalin pas upacara?"

....

Terdengar suara gelas digeser. "Ya-ya gak gimana-gimana."

"Kaget gak?"

"Kagetlah. Mana tadi dia baris di sebelah aku lagi. Sumpah ih, padahal aku gak pengen ketemu dia dulu."

"Tapi, kamu ngeliatin dia terus tuh?"

"Ya-ya. Cakra kalau diliat dari samping, makin ganteng." 

What?

Devina pasti sedang tersenyum-senyum sekarang. Aku yakin. Aku yakin sekali. Yakin banget.

"Cakra ...," panggil Devina, sengaja mengeraskan dan memanjangkan intonasinya. "Di belakang kamu siapa, tuh."

"April .... Tuh di belakang."

Sialan orang-orang ini.

Aku tidak akan menengok. Aku tidak akan menengok. Tidak akan!

Oh oke, aku kabur saja.

Sebelum pergi, aku mengekspresikan kekesalanku pada Devina dengan menggebrak meja dan langsung keluar dari kantin. Tidak patut memang orang itu.

Tapi—seseorang mengejarku.

Mau tidak mau, dan memang tidak mau, tapi tidak tega juga, aku pun berbalik untuk memastikan kalau itu bukan April.

"Cakra."

Oh, tidak.

"Maafin aku. Maafin aku."

Lho, emang dia salah apa?

"Eh."

"Hah?"

"Itu—"

"Iya?"

"Duh."

"Hm?"

Astaga, kok jadi gini.

"April."

"He, iya?"

"Nanti kalau temen aku bilang, 'Cakra suka sama April', kamu jangan percaya, ya."

"Loh?"

"Biar aku yang ngomong sendiri. Kalau Cakra, emang beneran suka sama April."

cakra & april. [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang