sweetheart.

28 9 62
                                    

'April membutuhkanmu.'

'April membutuhkanmu.'

'April membutuhkanmu.'

AKU TIDAK BISA.

Malam itu aku pingsan dua kali setelah mendengar April meneriakkan namaku dari suatu lorong. Aku yang sedang berbaring di ranjang UKS dalam keadaan masih pusing, memaksakan diri bangun dan berlari. Tapi belum sempat aku membuka pintu, kegelapan kembali menyapa penglihatanku.

Malam itu aku terkena demam. Kondisiku tidak baik, dan malah memaksakan ikut diklat. Ditambah udara yang dingin serta kepala berat karena terus memikirkan April, tidak heran kalau aku jatuh pingsan.

Payah sekali. Bahkan di saat cewekmu sedang membutuhkanmu, kamu malah terbaring lemah.

Laki-laki macam apa itu!

Kamu sudah tidak punya muka lagi di hadapan April.

Dan aku melakukannya.

Selama seminggu berikutnya, aku tidak masuk sekolah. Bukan untuk menghindari April! Karena demamku memang belum surut-surut. Tapi sekaligus menghindari April juga, sih.

Sepanjang sakit pun, aku masih mendengar suara-suara tak asing yang muncul di dalam kepalaku. Terus membicarakan segala hal tentang kesakitan April.

'April dimarahin temen ekskulnya gara-gara gak hadir di pos.'

'April bolos latian pensi.'

'April dapet nilai ulangan paling jelek.'

'April berantem sama Bobi.'

'April pengen nangis.'

'April pengen ketemu Cakra.'

IYA-IYA TAHU. Bisa diam tidak!

Kepalaku jadi makin sakit.

Aku juga pengen ketemu April. Pengen, pengen, pengen banget! Pengen nenangin dia, pengen meluk dia, pengen bilang 'gak usah khawatir, masih ada orang yang suka kamu', ya aku misalnya.

Tapi semuanya terhalangi oleh kondisi badanku yang belum sehat betul. Mana mungkin juga aku nekat masuk ke sekolah. Mau nularin penyakit ke orang-orang? Eh tapi demam tidak menular, 'kan? Hm ....

"Jangan!"

Devina dan Erika menjengukku.

"Jangan masuk sekolah dulu." Devina berujar di sebelah tempat tidurku. "Pasti mau ketemu April, 'kan? Ish." Keningku disentilnya.

Aku meringis kesakitan, mengusap-usap bekas sentilan. "Terus, gimana ... dia?"

"Nanyain kapan kamu masuk mulu," Erika yang menjawab. "Tadi udah aku ajak dia ke sini, tapi dianya gak mau."

Hm.

Devina menghela napas berat. "Ya kamu sih—"

'April lagi nguping di depan pintu kamar kamu.'

Eh. Dia ke sini?

Kenapa sembunyi.

Telingaku menolak semua suara yang berusaha masuk, termasuk ceramahan Devina.

April? Kamu masih di sana?

Oke. Jika kamu tidak mau keluar ....

"Em—jangan bilang ini ke April, ya." Aku memelankan suara, namun masih yakin dia dapat mendengarnya. Mengambil napas sebentar, aku memunggungi mereka. "Aneh enggak, kalau aku pengen manggil dia  sweetheart?"

.

Tidak. Itu tidak bohong!

Aku memang ingin memanggilnya dengan panggilan sweetheart. Tapi ya, aku tidak mungkin melakukannya. Biarlah, yang penting dia sudah mendengarnya secara langsung dari mulutku.

Barangkali itu bisa menjadi pengganti kehadiranku di sisinya.

Sweetheart.

Iya. April itu manis!

Kelewat manis sampai aku selalu ingin menggodanya. Padahal sebelumnya aku tidak punya skill itu.

Di Hari Minggu, aku mendengar si bisikan berbunyi di telingaku lagi.

'April lagi di sekolah, latian pensi.'

'April pengen ketemu Cakra.'

'April pengen ketemu Cakra.'

Oke. Akan kukejar!

Kondisiku sudah agak membaik dan memungkinkan untuk pergi keluar.

Saat tiba di sekolah, aku tidak langsung pergi ke ruang ekskul musik. Aku akan menunggunya di lapangan, melihatnya dari bawah sini. Ruang ekskul musik berada di lantai dua.

Kemudian ....

Kulihat April baru saja keluar ruangan. Tapi sialnya, dia sempat melihatku di sini. Alhasil, dia malah berlari!

Lho.

Aku langsung mengejarnya dan terjadilah aksi kejar-mengejar di antara kami. April benar-benar menghindariku secara sengaja, seolah aku ini adalah buronan polisi.

Dan hebatnya, aku malah lupa kalau rasa pusingku masih belum sembuh.

Dan ya ....

Aku pingsan lagi.

cakra & april. [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang