story about someone.

31 9 66
                                    

"Aku ... boleh cerita, gak?"

Matanya masih menutup. Dadanya naik-turun. Tangan kirinya dingin saat sesekali kugenggam.

Mungkin tidak apa-apa. Dia tidak akan terbangun.

"Aku mau cerita. Soal ... seseorang." Perasaanku mulai berdebar dan tidak karuan. "Dengerin, ya."

Aku memundurkan kursi sambil berpegangan pada sisi ranjangnya. Kuamati wajah tidurnya yang entah kenapa, itu sedikit menenangkanku.

Menghirup napas dalam-dalam, cerita dimulai. "Aku ketemu sama dia di kelas orang lain. Saat itu, cuma ada kita berdua di sana. Pada pandangan pertama, aku merasa kalau dia sudah menyukaiku," aku tersenyum. "Ya, kesan pertama yang tidak terlalu buruk. Kulihat dia juga lumayan. Tapi selanjutnya, aku baru tahu kalau ternyata dia itu pemalu. Masa sampai tidak mau berduaan denganku di kelas. Ya emang canggung, sih."

Aku mengingat kejadian manis yang menimpa hidupku sekitar berminggu-minggu lalu, kemudian melanjutkan, "Aku kira, aku gak bakal suka balik sama dia. Aku gak biasa suka sama cowok, sih. Tapi kalau sama dia, um ... kayaknya secara gak sadar, dia sendiri yang bikin aku suka sama dia."

Aku meletakkan siku di sisi ranjang, menumpu dagu. "Megang tangan aku diam-diam, niatnya sih mau ngambil penghapus, tapi itu 'kan penghapus aku. Ngaco banget sumpah." Aku tergelak. "Gak mau aku baris upacara di sebelah dia. Terang-terangan ngegombal di depan orang lain. Dia kelewat polos atau gimana, sih. Aneh ya dia?" Aku menatap ke arahnya. Masih tidur.

"Udah tiga kali pula, dia nyatain perasaannya secara gak langsung. Tanpa beban, seolah itu adalah hal yang wajar. Tapi giliran mau nembak, eh malah kabur mulu." Tawaku keluar.

Kuperhatikan lagi dirinya yang belum terbangun. "Aku sempet suka sama orang lain. Tapi dia ... berhasil bikin aku suka sama dia lagi. Masa mau ngebaperin dan ngegoda aja minta izin. Itu maksudnya gimana, dah." Aku tertawa lagi, memikirkan tindakannya yang selalu membuatku gemas.

"Huh .... Kenapa aku baru tau ya, ada cowok kayak dia dari kelas sebelah. Kenapa gak dari dulu aja aku ketemu dia." Aku memandanginya dari bawah. Duh. "Tapi belakangan ... kita udah gak ngobrol lagi."

Air mataku merembes keluar dari pelupuk mata. "Aku gak mau dia khawatir. Aku gak mau dikatai lemah. Aku udah pernah ngadu ke dia sambil nangis. Masa ... masa—"

Ah, aku tidak bisa menahannya lagi.

Biarlah.

Aku menangis di hadapannya lagi. Membiarkan rasa sedihku tur—

'Cakra udah bangun dari tadi.'

"Aw!"

"Jangan liat, ih." Aku menutup kedua matanya dengan satu tanganku, tidak membiarkan tangisanku terekspos!

"Kenapa?"

"Jangan liat aja." Napasku terengah-engah. "Kamu ... denger dari awal?"

Cakra bergeming. "Maaf."

Oh aku sudah tidak punya muka sekarang.

Aku terus menutupi matanya agar tidak melihatku yang sedang menangis. Sementara aku menunduk, kurasakan sebuah tangan menyentuh pipiku.

"Nangis?" Air mataku dihapusnya dengan lembut. "Gak usah nangis, masih ada yang suka kamu kok."

"Kamu misalnya?"

Lagi-lagi dia terdiam. Kenapa sekarang tidak mau mengakui, hah?

Tangannya masih berada di pipiku. "Cak—"

"Sebentar aja. Aku ma-masih kangen." Pipiku diusap-usapnya secara halus.

Hanya sebuah kehangatan yang kurasakan. Aku benci ini. Benci perasaan suka ini padanya.

Kenapa susah sekali untuk tidak menyukaimu?

Lalu, tangannya dia singkirkan. "April, laki-laki yang kamu ceritain tadi, siapa?"

Mulutku terkatup rapat.

"Um ... kayaknya aku bisa baca pikiran dia." Cakra masih berbicara. "Katanya, dia juga suka sama cewek yang sebangku sama dia pas UTS."

....

"Ini mau sampe kapan mata aku ditutup?"

Eh. "Kamu gak boleh liat."

"Kenapa? Mukamu jelek?"

"Iya jelek! Makanya gak usah liat."

"Oh, oke."

"Ih."

Cakra tertawa sampai bahunya bergetar. Aku sedikit geli. Lalu, dia berusaha mengangkat tanganku yang membekap matanya. "Mau liat dong."

"Gak boleh."

Selanjutnya pertahananku melemah karena kini tanganku dipegang olehnya!

Akhirnya, penglihatannya terbebas.

"Tutup lagi! Cepet!" perintahku cepat-cepat.

"Iya." Dia menjulurkan lengannya hingga menutupi kedua matanya.

Weh, nurut.

"Gak usah sambil gitu juga kali. Tadi. Geli. Mataku."

Oh ....

"April."

"Hm?"

"Padahal kita lagi berantem, lho. Kok ini udah ngobrol lagi?"

Hah. Maksudnya dia pengen kita berantem lagi gitu?

"Cepet amat ya akurnya."

Sungguh, aku tidak mengerti.

"Berantem lagi, yuk."

"Hah?"

"Seru."

Cakra sudah tidak waras.

cakra & april. [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang