2nd floor.

64 11 183
                                    

'April pengen ditembak sama kamu lagi.'

Aku melipat bibir, lagi, hal yang spontan selalu kulakukan ketika pandangan kami saling bertemu. Raut wajahnya yang sedikit merah juga menunjukkan tentang apa yang terbisik di dalam kepalaku itu.

Dan, tunggu.

Pengen ditembak sama aku lagi?

Lagi?

Emang kapan aku pernah melakukannya?

Mendengar dua orang insan tiba-tiba bicara kalau mereka sudah berpacaran, April memandangku penuh harap di tempatnya berdiri. Matanya menyorotkan sebuah permohonan yang entah kenapa sangat sulit untuk tidak kusadari.

Apa yang dia harapkan dariku?

Apa yang dia harapkan dari seorang Cakra? Cowok biasa kelas tetangga yang hanya satu bangku dengannya saat ujian tengah semester minggu lalu.

Hanya beberapa kali kami mengobrol. Tidak begitu intens, meski aku sedikit merasakan perasaan yang lebih di antara kami berdua. Ah tidak. Ralat. Aku saja mungkin?

"Cak!"

Sapuku terjatuh. Devina benar-benar handal dalam berteriak. Bahkan di saat dia tidak perlu melakukannya.

Aku berbalik menatap Devina. Wajahku menyorotkan kekesalan. "Kenapa, sih?"

Bola matanya dia gerak-gerakkan ke samping. Lidahnya juga mendorong-dorong pipi bagian dalamnya. Berniat menunjuk ke seseorang secara tidak langsung.

Tapi lantas aku tidak mengikuti arah petunjuknya.

Alisku naik sebelah. "Aku mau piket," kataku singkat dan padat, mengambil sapu yang terjatuh dan kembali masuk ke dalam kelas.

Merasa mendapat balasan yang tidak dia harapkan, Devina memajukan sedikit tubuhnya melewati pintu. "Heh, kamu gak mau ngucapin selamet gitu? Temen cewekmu ini udah dapet pacar, lho. Kamu sendiri kapan, Cak?"

"Berisik!"

"Hei, Cakra." Pacarnya Devina ikut melantangkan suara. "Ini ada yang lagi nungguin kamu di depan kelas."

Aku diam saja. Ya mana mungkin 'kan nyuruh dia masuk sedangkan kelas sedang dibersihkan?

Pada saat itu, semua orang bertingkah menyebalkan padaku. Sapuku direbut cewek lain, dan bahkan semua anggota yang sedang piket saat itu malah mengusir keikutsertaanku.

Sungguh, apa yang mereka inginkan?

'April masih nungguin kamu di depan kelas.'

Berhentilah bilang begitu. Jangan buat aku semakin tidak enak.

April. Ayolah, pulang sana!

"Ahem."

Devina tahu-tahu saja sudah berdiri di depanku dengan berkacak pinggang. Dia rupanya seniat itu.

"Cak. April nungguin, tuh." Benar. Seseorang sudah memberitahunya padaku melalui telepati. Atau jangan-jangan, suara itu suara Devina?

Hah, aku ingin tertawa.

"Kamu mau aku apain dia?" Itu kalimat tersantai yang kulontarkan di tengah kekesalanku sore ini.

Gimana tidak kesal? Orang-orang dengan mudahnya mulai mencampuri segala urusanku yang kurang penting ini (kurang penting bagi mereka, penting untukku). Sungguh bikin kesal bukan?

"Tembak!"

Suaranya benar-benar bisa dibilang keras. Besar kemungkinan akan kedengaran sampai ke luar kelas. Benar-benar gila. Semua orang benar-benar sudah gila.

cakra & april. [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang