Siang itu, matahari bersinar terik sekali. Tidak banyak yang pergi ke kantin. Udaranya membuat pengap dan gerah. Sebagian besar orang di kelas menyesal karena tidak membawa bekal.
Tapi cewek satu itu, barangkali masih terbawa semangat mempunyai pacar, dia tidak terlihat batang hidungnya di sini. Tak apa, itu menguntungkanku.
"Cakra. Ada yang nyariin."
Bola mataku bergerak dengan sendirinya, mengikuti arah pintu. Punggungku yang tengah bersandar di dinding langsung terkulai lemas. Menganggu saja!
"April."
Bukan hanya aku saja yang terlonjak, tetapi semua manusia yang ada di kelas itu. Mereka memandangku. Tatapan menggoda pun terlihat hampir di seluruh ruangan.
Sialan.
Aku melepas earphone putih yang semula kupakai, lalu berjalan keluar bangku dengan langkah lambat. Terdengar suara kekehan di mana-mana. Oh, sungguh, aku tidak pernah menginginkan ini.
Sampai di ujung pintu, bagian belakang tubuh seseorang langsung terlihat. Keningku mendadak berkeringat. Ingin menyudahi pertemuan sialan ini.
Maksudku, kenapa harus di depan kelasku! Dan di saat hampir semua teman sekelas sedang berada di kelas.
April berbalik sebelum aku sempat mengeluarkan suara.
"Hai." Dia tersenyum.
"Oh, hai." Aku tersenyum, canggung. Di situ aku menyadari suasana kelas sudah menghening. Pasti berniat menguping!
April menggerakkan tangannya dengan gelisah. "Anu ... kamu ada waktu?"
"Enggak."
Dia semakin menatapku. "Serius? Emang sekarang kamu lagi ngapain?"
"Ngegabut."
Aku sangat tahu aku sedang bertindak mengesalkan sekarang. Tapi .... Please! Siapa yang mau digoda oleh orang-orang satu kelas?
Selanjutnya, gadis di depanku ini tidak menyerah. "Em .... Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Di belakang sekolah."
Bunyi gesekan bangku serta suara orang terjatuh menginterupsi pembicaraan kami. Aku nyaris menyuruh April memelankan suara. Orang-orang di belakang kami semakin tidak terkendali.
Pada saat itu, aku mendadak berpikir panjang. Sejak kapan seorang lelaki pendiam macam Cakra mulai berurusan dengan perempuan?
Dunia telah berubah.
Menahan perasaan gugup, aku berkata, "O-ke."
Dunia memang sudah berubah. Termasuk diriku sendiri.
.
Aku dan April duduk berdekatan, di sebuah tempat duduk yang terbuat dari batu, menghadap ke tembok pembatas sekolah. Siapapun yang melangkah ke sini, pasti akan langsung mengira kalau kami sedang berpacaran.
Oh, sialan. Aku benci digoda.
"Cakra."
Suara April benar-benar dekat. Aku yang sedang memegangi rambut (karena merasa frustasi) berusaha untuk tidak menoleh ke arahnya. "Kenapa, April?"
Lengan seragamku ditariknya. "Mau ngomong .... Soal Bobi."
"Hah?" Udara yang tidak mengenakkan menyeruak masuk ke dalam dadaku. Aku ingin bertanya lebih lanjut, tapi tidak ada suara semut yang keluar dari mulutku.
Untuk ke sekian kalinya (kalau aku hitung, mungkin sudah lima kali), kaki kanan dan kirinya bergerak secara sengaja. "Iya. Bobi. Kemaren malem, dia rela belajar bareng sama aku dibanding jalan keluar sama Devina."
Oh.
"Katanya mereka lagi marahan. Aku ya, seneng. Tapi ini bukan selingkuh lho, ya. Bobi ...."
Bla bla bla.
"Bobi ...."
Bla bla bla.
Skip saja. Tidak penting, sumpah! Lebih baik kalian tidak usah tahu saja tentang apa yang orang itu katakan soal Bobi. Tidak usah tahu, ya. Tidak usah!
Aku melirik jam tangan. Tiga menit menuju pukul setengah sebelas siang. Sinar matahari yang turun semakin membuat berkeringat. Seharusnya, aku tidak meninggalkan kelas tadi.
"Bobi-"
"April." Aku menghentikan pidatonya. "Bentar lagi masuk."
Dia diam, seolah menunjukkan ke-sakithatian-nya karena aku telah mendengarkan dengan tidak minat. "Aku masih pengen di sini."
"Ngomongin soal si Bobi lagi?"
Cewek itu menggeleng setengah, lalu mengangguk dengan yakin. "Aku, pengen liat kamu cemburu."
Kami sama-sama terdiam. Yang mengisi keheningan hanyalah bel pertanda masuk yang berbunyi dengan menyebalkan.
Oh. Kenapa aku juga tidak ingin pergi dari sini?