'Cakra lagi mandangin kamu di sana.'
Api unggun sudah dinyalakan, orang-orang berkumpul mengelilinginya dalam lingkaran yang cukup besar. Dua kelas disatukan. Sepertinya sengaja. Acara ini diadakan untuk mempererat hubungan dengan teman di luar kelas juga.
Dan yah, kelasku kebagian bareng-bareng terus sama kelasnya Cakra.
Aku dan dia duduk berjauhan, terhalang oleh api unggun yang menyala tinggi. Tapi sedikit-sedikit, aku dapat melihatnya dari sini. Benar, di saat penglihatan kami beradu, dia selalu tersenyum ke arahku. Aku pun ikut menyunggingkan senyum.
Acara hari ini adalah kumpul-kumpul, sambil memainkan sedikit pentas di depan teman-teman yang lain. Bagi yang ingin menyumbangkan suara emasnya, ini adalah saat yang tepat.
Sudah ada gitar di depan sana, entah siapa yang membawanya. Mungkin anak laki-laki. Sudah ada beberapa orang juga yang bernyanyi, mewakili perasaan kami semua dalam lagu galau yang dinyanyikannya.
Tiba-tiba, seseorang menawariku maju.
"April, ayo maju!"
Eh?
Aku memang sudah terbiasa nyanyi di depan teman-teman sekelas. Di atas panggung juga pernah, saat SMP. Tidak ada rasa malu yang menyelimuti. Tapi sekarang ....
"April. April. April."
Orang-orang di sekelilingku terus menyebut namaku agar aku mau naik ke atas panggung, yang sebetulnya itu cuma dua buah kursi yang diletakkan di samping api unggun. Pasti hangat kalau berada di sana. Tapi ....
"Ayo, Pril." Aku didorong-dorong oleh dua teman sekelas yang berada di kiri dan kananku, sampai aku keluar dari posisi dudukku.
Yah, ih .... Gimana ini?
Orang itu masih ada di sana gak, ya?
Saat aku berdiri dengan kaki bergetar (karena gugup dan menahan rasa dingin), kulihat Cakra sedang duduk di tempatnya semula.
Oh my god. Tolong!
Sambil berjalan menuju kursi, dia terus menghindari tatapanku yang tertuju ke arahnya. Sepertinya, dia tidak mau melihatku yang akan bernyanyi di atas panggung ini. Baguslah, pergi dulu sana! Aku malu diliatin kamu tau.
Setelah duduk, satu kursi di sebelahku kosong. Aku pikir aku yang akan memainkan gitarnya juga. Tapi ....
"Cakra. Temenin April sana!"
"Iya kasian dia sendirian."
"Cuma kamu yang cocok bersanding sama dia."
Eh? Eh? Eh?
Tidak. Tidak. Tidak. Jangan!
Jangan ke sini Cakra, jangan! Bisa tambah malu aku kalau harus duduk berdua di sini bareng kamu. Di depan orang-orang pula. Kamu mau kita jadi makin digoda?
Aku tidak mau melihatnya. Aku tidak mau melihatnya. Aku tidak mau melihat keputusannya. Pokoknya jangan ke sini. Jangan ke sini. Kita putus kalau kamu ke sini!
Kemudian, dari arah ekor mataku, seseorang tampak berdiri dari duduknya. Bukan Cakra kok, bukan Cakra. Bukan dia, 'kan? Bukan dia, 'kan?
Aku terus menatap lurus ke depan, tidak mau melihat kejadian perkara. Yang sialnya, tak berselang lama kemudian, seseorang terlihat berjalan melewatiku, lalu berhenti tepat di kursi sebelahku. Kurasakan sebuah jaket mengenai ujung bahu kiriku.
"A-aku temenin?" Suara serak khasnya menyela telingaku.
Beneran Cakra.
Kurasakan mataku memanas. Tidak ada hal lain yang bisa kukatakan selain, "Aku nungguin kamu."
APRIL!
Cakra menarik kursinya sedikit menjauhiku, lalu memangku gitar. Kursinya tadi memang berdekatan sekali, sampai bahu kami langsung bersentuhan saat dia duduk tadi.
Melihatnya memetik-metik gitar dengan asal, aku bertanya sambil tertawa. "Kamu bisa main gitar?"
"Dikit, sih."
Kulihat ternyata telinganya sudah merah. Mungkin aku yang menyadarinya dari posisi sedekat ini. "Cakra, maaf ya. Jadi harus nemenin aku."
"Itukan emang tugas aku. Nemenin kamu." Dia terlihat santai saat mengucapkannya. "Nyaman ya, duduk di sini."
"Iya. 'Kan deket api unggun."
"Bukan. Maksudnya duduk deket kamu."
Apa sih. Aku marah nih?
'Cakra lagi deg-degan banget sekarang.'
Eh?
"April. Ayo."
"Bentar, aku masih deg-degan."
"Oh."
"Gara-gara kamu, sih."
"Hah, kok?"
Hahahaha. Satu sama.
"Hm. Ya udah." Mulutnya tiba-tiba tersenyum. "Nyanyi buat aku aja."
Dan, begitulah hari itu berakhir.
Eh tidak. Masih belum selesai.
Masalah tambah runyam!
Begitu lagu pertama telah selesai kunyanyikan, tiba-tiba orang-orang berteriak. "Cakra! Buruan tembak April!"
"Tembak. Tembak. Tembak."
Ya ampun. Seperti anak kecil saja!
Tapi ya, namanya juga Cakra. Selalu saja bisa menghindari momen menyebalkan seperti itu.
Seperti biasa.
Cakra kabur!
Tapi aku malah tertawa.
Cakra ... Cakra.