eavesdrop.

39 9 204
                                    

"Fini ... Fini ... suka sama Kak Cakra."

Cetar!

Sebuah kerikil berukuran besar seketika menghantam hati kecilku. Walaupun tidak mau, tapi tetap saja rasanya sedikit sakit. Sedikit.

Aku baru saja tiba dan langsung disuguhkan oleh pemandangan ini? Hum. Okelah, mengintip saja.

"Hayolo. Lagi ngap—"

Mulut Erika langsung kusumpal sebelum mengatakan sesuatu yang lebih keras. "Sut!" Aku menyuruhnya diam.

Cewek itu mengangguk pelan, kepalanya menempel di dinding. Setelah mulutnya terbebas dari tanganku, dia langsung bernapas. "Kenapa, sih?"

Aku mengisyaratkannya agar melihatnya sendiri.

Kemudian ....

"Kok jadi gitu keadaannya?"

"Mana aku tau. Tadi aku cuma boongan pas bilang mau nembak Bobi."

"HAH? KAM—"

Mulutnya kusumpal lagi. Tidak benar memang ini anak. Jangan ikutan nguping dong kalau kerjanya cuma teriak-teriak gitu!

"Tapi .... Kakak udah suka sama cewek lain."

Telingaku bergerak dengan sendirinya.

"Siapa? Kak April, ya?"

"Kamu gak perlu tau."

"Ih! Kenapa?"

"Kenapa sih maksa amat."

"Tau, ah. Sebel sama Kak Cakra!"

Pfft.

Bagus, bagus. Ngapain juga anda suka sama cowok model dia! Sudah tidak peka, ngeselin pula.

"Pril." Orang di sebelahku mencolek-colek lengan seragamku. "Tadi kamu bilang, mau nembak Bobi? Maksudnya apa?"

Aku langsung melihat ke arahnya. Erika menampilkan ekspresi sangat kepo.

"Jadi ... kamu sama Cakra, belum jadian?"

Hah, agak ribet juga.

Baiklah.

Jadi aku menceritakannya, ke Erika. Semua yang kupikir harus kuceritakan kepada orang lain. Soal aku yang menyukai Bobi, soal Cakra yang tidak menembakku juga, soal—

"Jadi kamu sukanya ke Bobi atau Cakra, sih?"

"Ya Bobilah."

"Boong." Pipiku ditusuk-tusuknya. "Kalau kamu sukanya ke Bobi, kamu gak akan sepeduli gini ke Cakra."

"Peduli gimana?" Aku tersinggung.

Erika tiba-tiba menghela napas, membuatku kesal. Seolah dia serba tahu saja!

"April," mulainya. "Buat apa kamu selama ini tiba-tiba aja suka ngebajak hp aku? Chatan sama Cakra. Ngajak ketemuan. Alibinya pengen buat dia cemburu. Buat apa buat apa buat apa?"

"Yang santei dong." Aku merasa tidak tenang. "Ya—ya—itu—aku pengen buat dia gak suka lagi sama aku. Ya gitu! Aku benci suka sama cowok. Apalagi yang modelan kayak Cakra."

"Yakin?" Erika memajukan wajahnya, menggodaku. "Cakra lebih ganteng dari Bobi, lho. Lebih manis, sumpah, aku aja sampe baper baca chatan kalian. Atau ... aku rebut aja ya, Cakra-nya?"

"Sana."

"Oke."

Erika beneran pergi dari hadapanku, berbelok menuju ke arah sana. Oh tidak.

Sudahlah. Lanjut saja mengupingnya.

"Cakra!"

"Eh? Kirain April."

"Cie nyariin April."

"Enggak nyariin. Nungguin."

"Gak usah ditungguin."

"Kenapa? Kamu mau nembak aku juga?"

Pfft.

Cakra lucu banget, sih.

Erika membalas. "Hm ... iya. Kenapa? Enggak boleh?"

"Enggak boleh. Kenapa sih cewek-cewek. Buta apa mereka."

"Cakra!"

"Gak usah teriak-teriak gitu. Kayak yang kita akrab aja."

"Kalau ... kita pura-pura pacaran aja gimana? Biar April cemburu."

"...."

"Kamu pasti sebel 'kan, digoda terus sama dia? Nah sekarang, giliran kamu ngetes April, dia beneran suka sama kamu atau enggak."

"...."

No Cakra, No.

Kamu tega bikin aku sakit?

"Ayok. Mau enggak?"

Tidak terdengar suara lagi setelah itu. Mau dari pihak laki-laki ataupun perempuan.

Erika apa-apaan, sih. Tidak lucu ini tidak luc—

"Mau sampe kapan nguping terus?"

Eh apa.

Aku hampir terlonjak. Cakra tiba-tiba saja sudah berada di sebelahku.

"Mana? Katanya mau nembak Bobi." Keningnya berkerut. "Kok malah jadi aku yang ditembak."

"Itu .... Kenapa kamu nolak mereka?"

"Ya, aku 'kan udah suka sama cewek lain."

"Siapa?"

"Kamu."

cakra & april. [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang