'She loves other guy.'
Kriek.
Aku menahan perasaan sakitku sambil terus menunggu April bicara. Dilihat dari pipinya yang merona dan matanya yang kaget, sebenarnya aku tidak memerlukan jawaban. Dan jika dia masih peduli denganku, setidaknya, dia cukup mengatakan 'tidak'.
"...."
Tapi dia masih tidak mengatakan apa-apa.
Aku menarik napas dan mengeluarkannya. Jantungku sudah berdetak tak tentu arah semenjak aku meletakkan makanan di meja yang sama dengannya.
Lihat, aku bahkan melakukan sesuatu di luar kebiasaanku. Mengikutinya, melihatnya memandang cowok lain dengan tatapan tidak rela, dan kalau bukan karena aku tidak ingin cepat-cepat mengetahui kebenarannya, aku tidak akan memaksakan diri untuk duduk semeja dengannya.
April kini menyorotku tajam. "Kamu sendiri, gak tanggung jawab banget, tuh. Gantungin cewek yang pengen pacaran sama kamu." Dia berdiri, makanannya belum habis. "Aku kayaknya udah keliru. Pantes, sih. Baru juga kenal seminggu."
Kepergiannya dari meja itu membuat orang-orang di sebelah menatap ke sini. Wajahku pasti sudah menggelap sekarang. Kuharap tidak ada seorang pun yang mengasihaniku.
Aku kembali melihat ke piringku dan sudah tidak berminat lagi untuk menghabiskannya. Teh manisnya pun sudah jadi pahit. Tapi aku tetap menyedotnya.
Sambil menggigit sedotan dengan kesal, aku memandang ke tempat Devina dan Bobi berada.
Kalau tau dari awal kamu emang gak suka sama Bobi, dari dulu, aku pasti udah nembak kamu—April.
.
Aku cuma murid biasa. Tidak mencolok dalam pelajaran apa pun selain fisika, kurasa—aku cukup percaya diri dalam pelajaran itu. Tapi itu pun, cuma satu kali aku mendapat nilai tertinggi ketika ulangan harian.
Aku tidak sering berurusan dengan perempuan. Kalau dalam urusan mengobrol, ya memang aku sedikit malu dan segan. Tapi bukan berarti aku seorang yang pemalu. Buktinya—ah ya, suaraku memang selalu tidak kedengaran setiap presentasi. Tapi sungguh, aku tidak pemalu ....
Hanya dengan Devina saja mungkin, aku bisa mengobrol lancar. Kami lumayan dekat, tapi tidak cukup dekat untuk merasakan perasaan suka. Devina orangnya sangat berisik dan enerjik. Katanya, dia suka bergaul dengan cowok pendiam.
Okelah, aku memang pendiam. Lantas, apa hal itu bisa disebut kekurangan?
Pilihanku sendiri menjadi pendiam. Dan, aku tidak keberatan jika orang-orang menjauhiku karena aku pendiam. Karena kenyataannya, aku masih sering bergaul dengan anak laki-laki lain.
"Cak, futsal, kuy."
Aku masih sering bermain futsal kecil-kecilan bersama mereka, saat jam kosong dan lapangan depan kosong. Semua laki-laki normal melakukannya.
Untuk urusan menyukai perempuan, tidak sering aku mengalaminya. Hanya pernah. Pertama kalinya, mungkin saat kelas 2 smp. Tapi itu hanya sekedar perasaan suka biasa. Tidak ada keinginan untuk memilikinya.
Mm.
Kalau saat bertemu April, selain karena dengan anehnya aku mendengar sebuah suara asing di kepalaku—menyebutkan segala sesuatu tentang April—aku memang ... ya, hm, begitu. Mungkin karena aku terlalu gugup harus satu bangku dengan lawan jenis.
April juga, ya ampun, dia manis sekali. Sungguh, butuh perjuangan hebat untuk tidak menengok ke samping saat aku tahu, dia sedang duduk di sebelahku.
Perasaanku sebagai seorang laki-laki seketika bergejolak.
Ketika pada awalnya aku tidak peduli dengan perempuan dan mengabaikan setiap perasaan suka yang mendadak mampir, kali ini, aku, ingin memilikinya.
Mmh ....
April ... um, apa aku boleh, memilikimu?
.
Suara teriakan yang memekakkan telinga terdengar di sepanjang lapangan depan. Adalah hal yang wajar jika lapangan sekolah hampir tidak pernah kosong saat jam pelajaran berlangsung. Selalu saja ada kelas jamkos yang mengisi lapangan itu oleh murid laki-lakinya yang bermain futsal.
Kali ini, giliran kelasku yang mengisinya. Pelajaran pertama setelah jam istirahat. Aku tidak cukup bertenaga sebenarnya untuk ikut bermain. Tapi, daripada tidak ada kerjaan? Aku sedang bosan bermain game.
"Niel! Oper bolanya sini."
Bola itu langsung diarahkan kepadaku. Bertepatan dengan itu, aku melihat dua punggung yang kukenal sedang berjalan melewati lapangan dengan santai. Hm.
Setelah bola itu berhasil kudapatkan, tanpa ragu dan tanpa berpikir, aku menendangnya dengan lumayan keras ke arah dua orang yang sedang berjalan itu.
Buk!
Jeritan suara perempuan terdengar.
Eh?
Para pemain futsal langsung membubarkan diri, berlari mengerubungi si korban tendangan. Aku bingung sekejap, bingung dengan apa yang telah kulakukan.
Salah sasaran?
"Hoi, Cakra. Kasian nih si April."
Aku tiba di kerumunan. Melihat April sedang memegang belakang kepalanya dengan kesakitan.
Di detik itu, dia menoleh padaku.
Oh.
Suaraku tidak keluar. April memandangku dengan alis berkerut, dan jengkel?
Tiba-tiba, seseorang mengusulkan untuk membawanya ke UKS. Tapi April langsung berkata tidak. Dan di tengah itu, si Bobi bicara kepada kami. "Lagi main futsal? Tanding kuy, sama IPA 7."
Keadaan kembali menjadi ramai. April sudah berkata kalau dia baik-baik saja, jadi tidak perlu dibawa ke UKS.
Orang-orang di sekitar kami membubarkan diri. Si Bobi ke kelasnya, teman sekelasku ke lapangan. Tersisa, aku dan April yang berdiri di sana.
Mmm.
"Ap— Ma—."
'She's hate you.'