ceremony.

121 22 148
                                    

'Cakra kabur, dia malu ketemu kamu.'

'Cakra lagi liatin kamu di pintu.'

'Cakra pengen pegang tangan kamu, sekali lagi.'

Aku mengingat lagi suara-suara bernada lucu yang belakangan selalu menghampiri kepalaku itu. Aku selalu ingin tertawa ketika bisikkan itu tiba-tiba terdengar.

Kenapa harus tentang Cakra?

Siapa cowok itu? Aku tidak pernah mengenal dia sebelumnya.

Awalnya aku memang merasa aneh begitu mendengar suara asing yang seperti berbisik di telingaku itu. Kukira itu kerjaan orang iseng atau hantu gentayangan. Tapi saat itu masih pagi, dan tidak ada siapa pun di sekitarku.

Aku pertama kali mendengarnya saat sedang berjalan menuju ruang ujian, di hari petama ujian tengah semester berlangsung. Katanya, 'Dia udah duduk di bangku kalian'. Sumpah, itu beneran random.

Namun, sesaat setelah aku sampai dan menginjakkan kaki di kelas, ternyata memang ada orang di sana. Duduk di bangku yang seingatku itu bangkuku juga.

Lho. Kok bisa tepat sasaran.

Ada apa ini? Apa seorang peramal atau cenayang sedang mengerjaiku sekarang?

Lalu, di saat-saat berikutnya, aku pun mulai paham.

Tanpa berniat ingin tahu siapa pelaku dari semua bisikan di kepalaku itu, aku berpikir, mungkin dia sedang menjodohkanku dengan Cakra. Sudah biasa sih, ada cowok yang suka sama aku. Tapi maaf saja, aku tidak akan membalas balik perasaan sukamu padaku itu.

Tapi, kalau dilihat, Cakra itu sebenarnya lumayan—

Ah, tidak jadi.

Sekarang, ujian tengah semester sudah berakhir. Aku sedikit merasa kesepian saat orang itu kini sudah tidak berada di bangku yang sama lagi denganku. Kami pun beda kelas.

Huh, padahal aku pengen ketemu dia.

Eh, kok?

Di saat pikiranku sudah teralihkan dari segala hal tentang Cakra, tiba-tiba sebuah bisikan terdengar.

'Cakra lagi nongkrong di depan kelasnya.'

Ya ampun. Tidak penting sekali, sumpah.

Upacara sebentar lagi akan digelar. Berniat sambil pergi menuju lapangan, aku kemudian berlari ke depan kelas. Dan benar saja, Cakra ada di sana. Lumayan jauh dari posisiku sekarang berada.

Kulihat, dia sedang sendirian di sana, berdiri menyender ke tiang tembok depan kelasnya. Saat melihatnya seperti ini, aku langsung teringat akan kejadian-kejadian yang menimpa kami seminggu belakangan.

Soal kami yang duduk berdua di satu bangku yang sama di tengah-tengah kelas.

First impression-ku padanya, Cakra itu orangnya pemalu. Tingkahnya hampir selalu kikuk setiap berdekatan denganku. Dia juga jarang berkomunikasi dengan lawan jenis seingatku. Namun, yang membuatku sedikit tidak percaya ....

Cowok itu sering membuatku deg-degan.

Dia selalu bisa membuatku, uh, apa ya.

Padahal aku orangnya jarang baperan.

Tapi kok bisa—

Di saat pandanganku masih tertuju lurus ke arahnya, tiba-tiba dia berbalik. Melihatku di sini yang sedang memandanginya. Aku terpana. Tatapan jarak jauh itu seolah membiusku untuk terus memandanginya.

Cakra pun tidak mengalihkan arah matanya. Seperti memang ingin melakukannya. Aku pun begitu. Tidak ada yang protes di antara kami. Seolah sama-sama saling menikmati.

Oh, ya ampun. 

Di saat seperti itu, mendadak, aku ingat hal yang dia lakukan padaku di hari pertama ujian.

Soal yang—

Cakra mengenggam tanganku.

Saat itu, saat aku sedang ingin mengambil penghapus di tengah meja, tiba-tiba ada sesuatu yang berat menyentuh tanganku. Aku langsung terkesiap.

Tangan itu menahan tanganku dari atas, seolah ingin terus mengenggamnya. Selanjutnya, jantungku semakin dibuat tidak normal. Dia menyatukan jarinya dengan jemariku, mencari celah di antaranya.

Beberapa saat napasku tertahan, Cakra mengambil sebuah penghapus dari balik tanganku. Tangan itu terlepas dan aku sama sekali tidak bergerak. Terpaku, terdiam, sampai bicaraku pun mendadak tergagap.

Aku sama sekali tidak mengira dia ternyata bisa membuatku sebegitu malunya. Cakra, kamu—

Di saat lamunanku belum berakhir, cowok yang sedang kupandangi itu tiba-tiba tersenyum. Singkat sekali, tapi aku masih bisa melihatnya. Dan, ma—

Dia kemudian berbalik, pergi menjauh dari pandanganku yang masih menggantung.

Sedetik-dua detik, perasaanku menghangat. Dan, aku ingin menangis.

.

Belum berhenti sampai di situ. Padahal sejenak aku ingin melupakan keberadaannya terlebih dahulu. Aku bisa saja terus mengingat momen tadi selama jalannya upacara.

Tapi, kurasa aku tidak perlu melakukannya. Karena si pemilik senyum itu sekarang sedang berbaris tepat di sebelah kiriku.

Eh, why?

Aku sempat lupa kalau kelas kami bertetangga. Dan oh, kenapa kami harus berdiri bersebelahan sekarang?

Oke, tenangkan dirimu, April. Cakra tidak akan bikin kamu baper lagi kok.

Tapi—

Aku tidak tahan untuk tidak menengok ke samping. 

Hum.

Baiklah.

Coba saja.

Dengan perlahan, kepalaku bergerak mengikuti keinginanku. Aku menoleh ke sebelah, agak bersikap terang-terangan. Kuperhatikan Cakra dari samping dengan sedikit paksaan keberanian.

Cowok itu sedang menatap ragu ke depan. Kening bagian sampingnya basah oleh keringat. Mulutnya juga berkali-kali dia lipat.

U-uh. Aku baru tahu kalau ternyata Cakra itu benar-benar ....

"April."

Eh. Dia menyebut namaku?

"U-udah, akunya jangan diliatin terus. Aku gak bisa fokus upacara."

"Hee."

"Sama...," perkataannya menggantung. "Lain kali kalau upacara, jangan baris di sebelah aku lagi, ya. Takutnya, aku malah fokusnya ke kamu."

Oh.

Oh.

Oh.

Osial, pipiku panas.

cakra & april. [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang