chairmate.

25 9 63
                                    

Aku cuma bercanda saat berkata kalau aku ingin berantem lagi dengan April. Asli itu cuma bercanda! Ya biarpun lumayan asik, sih.

Dan ya ... itu menjadi kenyataan.

Setelah berminggu-minggu, bertemu dengan April di ujian tengah semester, akhirnya UAS pun tiba. Lokasi dan penempatan bangkunya sama seperti kemarin. Yang artinya, aku sebangku lagi sama April.

Tapi anehnya, aku tidak merasa senang.

Entah, sekarang aku agak ilfiil dengan orang itu. Oh bukan salahnya, sih. Ini salah si bisikan!

Bayangkan selama satu minggu penuh, di saat aku sedang beraktifitas, di luar sekolah atau di dalam sekolah, kepalaku rasanya berisik sekali. Nama April selalu aku dengar mungkin tiap satu menit sekali.

'Meski pandai bernyanyi, April hobi bermain basket.'

'Golongan darah April yaitu B.'

'April lahir bulan April.'

'April takut sama cicak.'

'Pas kelas 4 SD, April ranking 1 di kelas.'

'April—'

"STOP!"

'—suka digodain kamu.'

Capek aku ini telinga panas mulu.

Aku jadi tidak berkonsentrasi belajar. Padahal ujian akhir tinggal satu minggu lagi. Semua hafalanku mendadak buyar di kala suara itu tiba-tiba muncul. Gimana tidak bikin kesal?

Please-lah, aku ingin melupakan soal April dulu. Bentar lagi ujian, lho. Tugas yang diberikan guru semakin menumpuk dan tidak terkendali. Aku juga harus meningkatkan nilai rapotku agar bisa diikutsertakan dalam SNMPTN.

Tidak bisakah libur satu hari dulu? Hei, Bisikan. Anda ini menyebalkan sekali, ya.

Hari pertama ujian pun tiba. Kali ini aku tidak berangkat paling pertama. Justru paling terakhir! Sengaja, agar bisa meminimalisir kontak dengan teman sebangku.

Kemudian saat berjalan menuju bangku, aku menyadari teman sebangku-ku tampak berpenampilan kurang enak dilihat. Mukanya ditekuk, dan sama sekali tidak ada senyuman di mulutnya. Lho, kenapa dia?

Dan ... pertengkaran pun terjadi.

"Cakra. Bisa gak sih diem sehari aja dulu gitu? Sebel aku diteror terus sama kamu."

Lho.

Lho.

Lho.

Apanya yang neror dia?

"Please ya, aku tuh mau belajar dulu buat ningkatin nilai rapot. Tapi kenapa nama kamu ada di otak aku terus, sih."

Eh.

Kesalahpahaman apa ini?

Tapi-tapi, kok kasusnya sama sepertiku?

Melihatnya yang terus mengomel, aku lantas duduk di tempat dudukku. April memperhatikanku dengan serius. Aku juga ikut memperhatikannya. Dan sudah tidak ada lagi ekspresi malu-malu di antara kami.

"Oke, gini deh," dia berkata. "Selama ujian ini, kita gak usah ngobrol dulu."

"Emang biasanya juga kita enggak ngobrol, 'kan?" 

April menahan amarah. "Oke-oke. Kita buat kesepakatan." Guru pengawas belum datang, cewek itu melanjutkan, "Dalam seminggu, siapa di antara kita yang ngajak ngobrol duluan, dia yang kalah. Dan yang kalah, harus nembak yang menang."

"Nembak? Maksudnya nyatain perasaan?"

Dia mengangguk dengan penuh semangat.

"Lho? Aku 'kan udah pernah. Tiga kali."

Pipinya malah merona. "Ya—ya, nembak pokoknya. Ngajak pacaran."

Glup!

Aku menelan ludah.

Rasanya akan sulit.

.
.
.

Tapi ternyata lancar-lancar saja.

Si bisikan masih membisikiku soal kebiasaan, kesenangan, cita-cita, biodata, dan lainnya mengenai April. Namun kali ini aku menikmatinya. Apalagi saat aku tahu dia sedang duduk di sebelahku, di bangku yang sama. Aku menganggapnya seperti radio, bukan kaset rusak!

Yah, walau ini kedengaran curang, sih. Masa aku tahu soal April dari si bisikan? Bukan karena usaha sendiri. Tapi ya, mau gimana lagi. Suara itu sendiri yang menghampiri diriku, seperti memberi anugrah. Aku tinggal memanfaatkannya saja.

Hm, ya, selama seminggu itu lancar.

Tapi di hari terakhir ....

Aku menemukan April sedang menangis sambil berjongkok sendirian di sudut belakang sekolah. Sosoknya yang seperti itu, hampir kelihatan seperti hantu.

Untuk menyeimbanginya, aku pun jadi ikut berjongkok, di depannya.

Pasti gara-gara ekskul musik.

Tangisan April masih terdengar memilukan. Dia mengangkat kepala dan menyadari keberadaanku. Ekspresi kagetnya malah membuatku ingin tertawa. Aku berusaha menahannya.

Selanjutnya, cewek itu sepertinya salah tingkah. Dia terus-terusan menunduk, tidak ingin melihatku yang sedang berjongkok di depannya ini.

Hm.

Aku mencubit tangannya dengan tidak keras.

"Aw! Cakra, sakit."

"Nah, lho. Kamu yang nembak aku."

Yes!

Tapi April malah tersenyum, dan menjawab, "Oke-oke."

Lho, kok aku yang jadi tegang?

cakra & april. [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang