Bab 19

1.6K 122 2
                                    


Jarum jam terus berputar pada porosnya. Minggu-minggu terlewati sama seperti para prajurit yang berlatih tiada henti. Semakin hari bayangan akan perang yang tak terelakkan menanti di depan mata. Siang hingga malam Lucien tenggelam dalam kesibukan mempersiapkan pasukannya. Rapat guna berdiskusi dengan para bangsawan, berlatih pedang bersama pasukan khususnya, dan sesekali mengawasi tingkah laku istrinya.

Sejauh ini dengan masa kehamilan Zera yang semakin bertambah, serangan mual yang sering menghampirinya berangsur-angsur menghilang. Ia banyak menghabisakan kegiatan dengan menjelajah tempat-tempat baru yang ia temukan di istana. Sang suami mengizinkan kemauannya selama ia tahu batas kelelahan dan jarak yang ditempuhnya. Karena pada dasarnya, Lucien ingin yang terbaik bagi sang istri dan juga bayinya.

Segelas susu menemaninya waktu santainya kala mengamati bunga-bunga yang tengah bermekaran di taman luas itu. Jarang keluar dari istana membuatnya cukup menyesal. Secara fisik ia lebih kuat dari sebelumnya karena napsu makan yang kembali normal. Tercetus sebuah ide dimana ia akan memohon izin pada Lucien untuk berjalan lebih jauh keluar dari istana. Penelusurannya pada sekitaran istana nyaris berakhir. Rasa ingin tahunya acap kali menguji kesabaran Lucien yang tipis.

"Jasmine... Alex... seumpama aku meminta izin keluar istana pada His Majesty menurut kalian bagiamana?" harap Zera mengangkat gelas ke arah mulutnya.

Sang pelayan menggaruk tengkuk lehernya dan tampak bingung. "Menurut saya bukan suatu ide yang bagus, Your Majesty, apalagi Anda tengah mengandung bayi His Majesty."

Alex bersandar pada salah satu tiang gazebo. "Aku siap mengawal kemanapun Anda pergi, Ma'am."

Jari telunjuk Zera mengetuk dagunya berkali-kali. Perlu diingat kembali, istana seluas dan sebesar itu membuatnya jenuh. Bagaimana tidak, ia tak punya relasi dengan para bangsawan secara kekeluargaan maupun sosial. Lucien melarangnya mengadakan pesta teh, pesta kebun, atau yang serupa. Faktanya, ia tak mempunyai teman dekat diluar sang pelayan dan pengawalnya. Berjalan dapat mengalihkan kesepiannya sementara. Ia sampai pada sebuah bangunan yang sangat megah dan tampak terawat baik.

Zera mengarahkan jari telunjuk dan melihat Jasmine. "Bangunan apa ini sepertinya kelihatan kosong?"

"Itu adalah salah satu istana yang dibangun sebagai tempat khusus untuk istri Raja, Your Majesty," sahut Jasmine meremas jemarinya. Berharap sang ratu bermaksud lewat saja.

"Jadi harusnya aku tinggal disini?" Jiwa penasaran sang ratu semakin menjadi-jadi.

Jasmine menganggukan persetujuan.

Alex menimpali, "Lalu, mengapa selama ini Ratu tinggal di istana yang sama dengan His Majesty?" Jasmine sekelebat ingin menutup mulut Alex dengan kain lap.

"Alex, perkataanmu itu benar juga. Aku akan memasukannya pada daftar pertanyaan untuk His Majesty nanti," gumam Zera memutuskan. Sentuhan angin berhembus kencang menerbangkan rok sang ratu dan pelayannya. Lebih baik berlindung dalam bangunan ketimbang menderita dingin.

Debu menyambut kelompok kecil itu yang memasuki bangunan. Zera terbatuk sebagai akibatnya, namun niatnya tak juga padam. Dibukanya satu per satu ruangan dan mengintip ke bagian dalam. Saat terbaca niatan sang ratu kala ingin menjelajah pada lantai dua, Jasmine berdalih pada sang ratu dengan alasan waktunya Zera makan siang dan menyarankan pulang ke Istana Utama.

Di tengah-tengah tangga melingkar Zera sempat melihat sebuah lukisan besar pada dinding yang menyambut lantai dua. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita cantik, matanya biru terang sama seperti langit cerah, rambutnya cokelat bergelombang terjuntai melewati pinggul. Keanggunan sosok itu menggugah Zera mendekatinya. Ia menelusuri secara cermat.

I Married the King Who Burns Love ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang