Bab 49

1.2K 94 0
                                    


Sepucuk surat dengan segel emas sampai di Kerajaan Breziad pada dini hari. Sebastian terburu-buru mengantarkannya ke kamar utama. Ia mengetuk pintu besar dengan campuran rasa gelisah dan takut. Tentunya, sang raja dan ratu masih tertidur lelap kala itu. Mereka tak ingin diganggu oleh siapapun.

"Your Majesty. Ada hal mendesak yang harus saya sampaikan sekarang," ucap Sebastian yang membawa nampan surat. Sang pelayan menggigit bibir bawahnya. Matilah aku.

Telinga Lucien menangkap suara panggilan dari luar kamar. Pria itu terbangun dan keluar, ia menyuruh Sebastian untuk diam. Zera yang kelelahan dalam mengurus anak dan tugas seorang Ratu, tak menyadari kehadiran Sebastian dan masih tertidur pulas.

Sangkaan Lucien tak meleset. Dentaman di kepalanya mengatakan bahwa Sebastian membawa kabar yang sangat penting, sehingga berani mendekat ke kamarnya pada jam yang tak lazim. Lucien mengenakan celana panjang. Kemeja yang ia pakai pun kusut karena memasukannya secara asal dan sembarangan.

Selelah apapun yang pria itu rasakan. Ia merasa perlu bertanggung jawab atas seluruh keluarga kecilnya. Biarlah anak-anaknya tidur dalam damai, terutama sang istri yang banyak menghabiskan waktu untuk mengurusnya.

Satu senyuman tulus terlempar dari bibir keras Lucien ketika melihat lekuk tubuh Zera di atas ranjang. Ia menutup pintu sehalus mungkin dan menatap Sebastian yang pucat pasi.

"Your Majesty, perwakilan dari Kerajaan Wolvbergh—" Suara Sebastian timbul dan tenggelam. Sarung tangannya basah seraya memegang erat nampan surat yang ia angkat.

"Ke ruang kerja sekarang." Sang raja berjalan melewatinya. Tampak berbahaya dengan efek pakaian yang tak rapi. Dahinya mengernyit manakala mendengar berita yang disampaikan oleh sang kepala pelayan.

Insting binatang buas yang bersemayam dalam diri Lucien terbangun. Ia menggebrak meja kerjanya sampai Sebastian melonjak. Hawa dingin menyelimuti kulit sang pelayan yang malang. Sebastian menjalankan tugasnya sebaik mungkin. Seharusnya ia meminta tolong pada Marcoxius yang jelas tahu tabiat sang raja.

"Marcoxius... panggilkan Duke Lieven dan Lady Isabel untuk menghadapku pukul tujuh pagi." Sang raja tertunduk dan menyangga dahinya dengan tangan.

Bibirnya bergerak tengah mengumamkan umpatan tak terucap.

"Baik, Your Majesty. Saya akan segera berangkat ke kediaman Lieven." Tubuh Marcoxius membungkuk dan ia pergi dari ruangan itu.

"Sampaikan pada perwakilan dari Kerajaan Wolvbergh, aku akan mengirimkan perdana menteri dan wakilnya." Lucien mendorong kursi dan berdiri.

Lucien mengepalkan tangannya, ia sulit tuk mempercayai isi dari surat yang berada di atas meja kerjanya. Kekhawatirannya berembus mengitari pikiran dan hatinya. Peristiwa yang terlalu bertubi-tubi. Apa bocah ingusan itu bisa menjadi pemimpin yang benar?

Terkadang sang istri terasa bagaikan cenayang yang mampu melihat masa depan. Apa yang wanita itu katakan benar-benar terjadi.

Jarang sekali Lucien merasa cemas jika bukan karena sang istri. Ia tak mengira Raja Guldes akan meninggal secepat itu. Kerajaan Wolvbergh punya dua pilihan. Bangkit dari keterpurukan di bawah pemerintahan Alex. Dan yang terburuk ialah dibawa dalam kehancuran oleh sang raja muda.

***

Zera terbungkus dengan balutan selimut yang cukup tebal. Tubuhnya menggeliat di tempat tidur besar nan empuk. Ia begitu menikmati waktu istirahatnya yang singkat, hingga sulit baginya untuk beranjak pergi dari situ setiap harinya.

Seluruh sarafnya ingin menempel pada seprai.

Ibu jari Lucien menyentuh pipi lembut sang istri. Ia menarik selimut itu dan ikut masuk ke dalamnya. Suhu hangat tubuh mereka saling bertukar satu sama lain. Mereka ialah kepompong dalam satu jiwa yang sama. Tak terpisahkan oleh apa pun.

I Married the King Who Burns Love ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang