Bab 20

1.7K 123 8
                                    


Kepakan sayap hitam itu menjauh dari keriuhan. Membawa mereka larut dalam pekatnya malam. Bintang-bintang nan jauh berbaik hati meminjamkan cahayanya. Zera menyurukan wajahnya pada dada Lucien. Ia gemetar dan merasa dingin. Gerombolan dan kerubungan orang-orang di pasar malam itu mengerikan. Pandangan mereka penasaran, ingin tahu, dan menghakimi. Seolah-olah Zera merupakan binatang langka yang amat menarik perhatian. Ia tahu ia berbeda dari manusia pada umumnya.

Zera mengalungkan lengannya pada tubuh besar yang mejadi tamengnya. Sifat protektif pria itu terbukti nyata. Dagu Lucien berpangku pada sang istri hingga mereka menyentuh tanah.

"Buka matamu, Sayang. Kau sudah aman." Zera terpejam tak berkutik.

"A-aku takut. Terlalu banyak manusia yang ingin mendekatiku. Rasa ini berbeda ketika kita di istana," tekan Zera. Lucien mengusap-usap lengan istrinya. Menimang-nimang sampai wanita dalam rengkuhannya kembali percaya pada keadaan sekitar.

"Ingat janjiku padamu. Aku tak akan pernah meninggalkanmu sendirian. Aku disini, Zera." Lucien membujuk berusaha mengontrol suara yang keluar dari tenggorokannya.

Marcoxius membukakan pintu kereta dan dalam hitungan menit kereta kuda itu meluncur. Benar-benar disayangkan suatu kenangan yang semula membekas dalam kebahagiaan lalu sedetik kemudian porak-poranda. Hancur karena sambaran angin kencang.

Kesunyian menjadi teman perjalanan pulang yang kurang memuaskan. Zera tertunduk lesu akibat penyesalan. Selimut yang memang tersedia dalam kereta membalutnya hingga berbentuk bola bulu.

"Tidak ada yang perlu kau cemaskan lagi. Kita dalam kereta dan kau telah memelukku secara posesif seperti seekor bayi posum pada induknya," papar Lucien menunduk melihat kondisi istrinya.

"Aku ingin duduk sendiri," pinta Zera membuka mata. Lucien menangkap sorot itu.

"Diam," balas Lucien mendelik.

"Kau pasti tengah mengejekku dalam pikiranmu. Seorang istri yang keras kepala dan langsung menerima ganjaran saat tak nurut pada suami," ringis wanita itu menggeliatkan tubuh.

Pandangan Lucien menyipit. "Apakah istriku yang bertubuh mungil dan keras kepala sudah jera?" Alis hitam pria itu terangkat menantang.

"Tidak. Belum—"

"Belum apa?" potong Lucien.

Penyihir kecil itu memasang wajah paling polos yang bisa ia tunjukkan dan mata bulat serta besarnya menatap iba. "Aku belum kapok." Lucien ingin menyembur istrinya dengan kemurkaan dan ceramah tak berujung. Kapan wanita itu sadar akan bahaya?

Roda berputar kian cepat melewati kawasan hutan yang ramai akan pohon-pohon besar. Guna menghindari serangan yang tak direncanakan dari para bandit yang berkeliaran. Kereta kuda itu dengan keandalan sais yang berpengalaman melaju menembus kabut tipis. Guncangan tak berpengaruh pada Zera yang terlindung dipangkuan pria kokoh dan besar. Air muka Lucien tampak masam, ia membuang muka asalkan tak memandang sang istri.

Zera menyadari perubahan Lucien yang menunjukkan sikap dingin dan cuek.

"Lucien, sayapmu begitu indah," puji Zera mencoba terdengar stabil.

Lucien mendengus, "Omong kosong, kau menutup mata sepanjang penyelematanmu."

"Tidak, aku mengintip sedikit."

"Kau takut ketinggian? Aku terpaksa menggunakan cara tadi. Kau tampak nyaris pingsan," tegur Lucien jengkel.

Lengan wanita itu terangkat, jari telunjuk bergerak ke kanan dan kiri. Perbuatannya kali ini mewujudkan permusuhan skala kecil yang dipimpin oleh sang suami.

I Married the King Who Burns Love ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang