Bab 33

1.2K 119 0
                                    


Jam yang sekaligus berfungsi sebagai lemari berbunyi di ruang kerja sang raja. Tanda pertemuan singkat Zera dan Lord Frederick berakhir. Jauh sebelumnya Lucien memperingatkan untuk berbicara seperlunya dan tak berlama-lama. Mengingat hubungan Lucien dan ayahnya yang bisa terbilang renggang.

Saling memandang sekilas di dekat pintu. Lord Frederick meluncur pergi meninggalkan ruangan tanpa satu kali pun menenegok ke belakang. Sikap biasa yang telah berlangsung belasan tahun. Meninggalkan sesuatu yang tertinggal dan membiarkannya hidup mandiri. Tanpa perlindungan dan kasih sayang.

Pintu di belakang tertutup. Lucien mengitari meja kerjanya dan menggeser sebuah kotak kecil. Istrinya bersender dengan manis di sofa yang ia duduki. Mengambil biskuit dan memasukkannya ke mulut. Tidak ada penjelasan apa isi percakapannya. Lucien menunggu dan berputar-putar tak sabar.

Ketika memulai pembahasan mengenai isi percakapan Zera dan Lord Frederick, wanita itu berhasil mengalihkannya pada topik lain. Lucien gatal ingin menegur sang istri tetapi ia urungkan setelah menyadari Zera habis menangis. Matanya bengkak dan ujung hidungnya basah. Lucien mengutuk ayahnya karena apa yang ia perbuat pada Zera.

Ditepuknya kedua pipi agar ia tersadar bahwa satu permasalahan mendapatkan petunjuk yang berarti. Waktu yang tersisa ia pergunakan semaksimal mungkin.

Memakan biskuit terburu-buru membuat mulutnya seret. Ia memandang cangkir berisi teh yang belum tersentuh. Lord Frederick menuangkannya tadi. Zera mengambil dua sendok teh gula dan memasukkan ke cangkir lalu mengaduk. Ia menyesapnya perlahan.

Lucien memulai dengan penuh perhitungan. "Zera, kau terlihat lesu."

"Ya, aku tahu. Sedikit istirahat akan sangat membantu. Terima kasih karena kau telah memberikanku kesempatan bertemu ayahmu."

Diambilnya kursi bersenderan panjang. "Kelihatannya kau sedih setelah bertemu dengannya. Aku ingin kau bahagia bukan seperti sekarang. Keputusanku salah mengizinkanmu—sementara aku menunggu di luar."

Cangkir teh diletakkan pada tempat semula. "Tidak. Kau salah. Obrolan kami berjalan baik. Kau belum diberitahu Sofia—rupanya."

Kursi itu Lucien duduki dengan cara terbalik, ia bertopang pada senderan kursi. "Kurasa aku tak melewatkan sesuatu. Jika ada kau bisa menyebutkannya untukku."

"Wanita hamil sering menangis tanpa sebab yang jelas."

"Nah, itu aku pun tahu, Istriku." Lucien mengangkang di kursi yang dilapisi warna perak.

Sebelah alis Zera terangkat. "Ya sudah. Tak ada yang perlu dirisaukan. Aku menikmati waktu bertukar pikiran dengannya. Kukira dia tak akan menerimaku—"

Sepatu bot Lucien mengetuk-ngetuk lantai. "Diterima atau tidaknya kau menjadi istriku bukan urusan dia. Kau yang aku pilih dan tak satu orang pun dapat menentangnya." Ia memundurkan tubuhnya di kursi.

Raut wajah Zera berubah cerah seakan bunga-bunga bermekaran di sekeliling rambutnya. "Berarti kalian sungguh mirip. Lord Frederick dan kau."

"Kuharap aku tak pernah mendengar bualan itu lagi, Zera. Sepanjang aku hidup—sosok ayah nyaris sama dengan ingatan yang hilang," ketus pria itu menyilangkan lengan di dada. Lucien menambahkan dengan ekspresi datar dan dingin. "Tidak ada di hidupku."

"Jangan bilang seperti itu. Kau tetap perlu bersyukur meskipun sedikit, Lucien." Lengan Zera terangkat dan jari telunjuk serta ibu jarinya menyatu membentuk gambaran kecil.

Lidah Lucien terasa pahit. "Alangkah baiknya aku tak punya orang tua—"

Zera tersentak. "Kau ingin seperti aku? Tak tahu siapa orang tua kandungmu dan bagaimana kau bisa lahir ke dunia." Wanita itu menantikan tanggapan Lucien.

I Married the King Who Burns Love ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang