Bab 31

1.2K 114 4
                                    


Rinai hujan berlangsung dari petang yang menemani tenggelamnya sang matahari ke tepat persembunyiannya. Sang bulan pun naik ke tempatnya menggantikan tugas sahabatnya. Kabut ikut turun menutupi pandangan dalam jangkauan jarak beberapa meter. Awan lembap itu melayang dan berdekatan dengan permukaan tanah. Seisi istana memakai mantel tebal guna menghalau hawa dingin yang dibawa kabut putih tebal itu. Tidak sedingin di wilayah utara memang.

Ujung jari telunjuk Zera bersentuhan antara kulit yang sehalus sutra dan dinginnya kaca jendela raksasa di kamarnya. Wanita itu membalut gaun malam tipisnya dengan selendang satin berwarna biru muda pada bagian bahunya. Ia menggosokan sepasang telapak tangan mencari kehangatan dari gesekan keduanya.

Menerka kapan pria yang ia tunggu sedari tadi masuk ke ruangan itu. Keberanian yang ia kumpulkan susah payah tak boleh goyah oleh ketakutan berhadapan dengan pria sebesar beruang. Aku mencintai Lucien. Gema itu menabuh hatinya. Memberikan getaran mematikan dan membangkitkan seluruh indra serta saraf-saraf di bawah kulitnya.

Penantian. Raut wajah Zera tampak resah. Ia menggigit bibir bawahnya. Oh Tuhan badannya terasa mirip bola bulat dan kepercayaan dirinya berkurang bersamaan dengan berlanjutnya aktivitas dunia. Wanita itu sungguh cantik dan anggun hanya bagian perut yang menonjol karena hamil yang mempengaruhi bentuk tubuhnya.

Sandal yang dikenakan kaki Zera tak bisa diam mengetuk lantai di bawahnya. Ia menengok ke luar jendela menembus kaca transparan yang menyajikan pemandangan tak terlihat akibat tertutup kabut tebal. Jari kukunya beradu pada tangan kanannya. Zera gugup. Setelah pria itu datang ia harus menjelaskan semuanya. Tanpa terkecuali.

Ditiupnya kaca dengan satu embusan napas sehingga embun berbentuk lingkaran tak sempurna timbul. Jari telunjuknya mulai menuliskan "Luc" dan Zera terkesiap oleh bunyi berat yang disebabkan pintu kayu dari pohon cemara. Penghalang itu jelas bergeser lamban. Ia menahan napas yang tertahan di hidung mungilnya. Lucien tiba.

Sebenarnya apa yang sudah aku perbuat pada Lucien?

Aura mendominasi dari arah belakang merambat di sepanjang tulang ekor sampai leher Zera. Mustahil mengabaikan kehadiran pria tinggi dan kekar yang menghalangi tiga per empat pintu kamar itu. Postur gagah Lucien menjulang masuk dengan langkah besar.

Punggung Zera merinding.

Lantai dan kakinya saling menempel erat dan tak mau digerakkan satu senti pun. Jari telunjuk Zera yang tengah menulis kata di jendela terhenti. Ia mengurungkan niatnya. Lehernya sekaku patung yang menghiasi air mancur di tengah-tengah taman istana. Dengan sisa-sisa keberanian Zera menoleh ke belakang melewati bahu rampingnya.

Cahaya perapian menari-nari indah menghanguskan kayu bakar yang dilemparkan ke dalamnya satu jam lalu. Menghasilkan bayangan dan siluet dua orang insan yang dipisahkan karpet tebal dan jarak. Lucien berdiri mengangkang dan mangalihkan tatapan mata penuh intensitas tertuju pada sang istri yang seakan gaun dan selendang wanita itu tembus pandang.

Ini dia pria yang Zera tolak mentah-mentah pada hari-hari sebelumnya. Lucien hadir hampir di sepanjang hari penolakan menyedihkan itu. Zera baru menyadari air muka lelah dan gambaran derita yang pria itu tanggung sejauh ini. Kemarin ia terlalu sibuk memutar otak cara untuk menjauh dan terbebas dari istana.

Sudut bibir Lucien naik sedikit menandakan ia memaksakan sebuah senyuman. Lucien ingin tersenyum untuk Zera tapi sang istri pasti membalasnya dengan dahi yang mengernyit dan membuang muka. Lengan pria itu mengait rapi di belakang pinggangnya.

Rasa dan kekuatan yang entah datang dari mana. Lucien ingin merengkuh tubuh rapuh dan mungil istrinya di tempat yang persis berhadapan dengan tempatnya. Dekat namun terasa amat jauh. Mengapa sulit sekali mendapatkan satu pelukan?

I Married the King Who Burns Love ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang