10. Di Ujung Lembang

4.1K 708 32
                                    

Aku diajak berkeliling rumah oleh salah seorang penjaga di sini. Penjaga dalam artian, pria berseragam hitam, badan tinggi besar, lengkap dengan dua pistol tersemat di kantong kanan kiri celananya. 

Sejatinya, rumah ini tidak tersembunyi sekali, layaknya hunian hasil pencucian uang yang perlu dilacak hingga berhari-hari. Memang mungkin, gerbang depannya saja yang terlihat dari jalan raya Lembang. Jalan dimana lalu lintasnya cukup padat. Terlebih di masa liburan. Sisanya, masuk sekitar 500 meter dari gerbang utama, barulah aku akan menemui rumah bak istana bercat putih, kebanggaan Wiyatama. Rumah tunggal namun besarnya kuperkirakan melebihi Istana Kepresidenan. Aku belum pernah ke sana. Namun, dari pengetahuan yang kupunya, ujung taman depan hingga belakang, tarik garis dari ujung kanan ke ujung kiri, mungkin luas rumah ini terhitung sekitar 10 hektar. Dua kolam renang, satu helipad, rumah utama, rumah pelayan, taman Raniya, garasi, dan sebuah gudang besar di belakang yang dijaga 5 orang bersenjata lengkap. Gudang senjata. Selebihnya, hanya ada hamparan taman hijau, juga pohon-pohon rindang menyejukkan area berpenghuni ratusan orang ini. 

Dari ujung gerbang depan hingga belakang, Benar yang kukatakan, bahwa ada ratusan orang tersebar berjaga di setiap sudut. Mataku mengedar ke tembok tinggi pembatas wilayah ini. Sepertinya masih sanggup kupanjat, jika suatu saat aku butuh melarikan diri. 

"Lo jaga berdua. Tapi partner lo belum ada. Jadi, kerjain dulu semua. Jatah lo sebenernya cuma siang sampe pagi lagi. Itu artinya, jadwal istirahat lo pagi sampe siang. Malem, lo bisa tidur di kamar bocah itu. Tapi di sofa," terang Mba Sandra saat aku sudah selesai berkeliling. Kukira dia orang yang sopan, saat tadi mengasisteni Tama. Ternyata, songong juga. 

"Baik, Mba Sandra."

"Semua area bisa Raniya datengin. Kecuali, dua. Gudang besar di belakang, dan ruang kerja Bapak. Dan satu lagi tambahan buat lo. Dilarang masuk ke kamar tidur utama, walaupun Raniya lari-larian masuk ke sana. Cuma gue yang boleh masuk sana!"

"Baik, Mba Sandra."

"Tugas utama lo yang harus diperhatikan adalah, pastikan Raniya makan!"

Aku mengernyit. Makan? Bocah sebesar itu masih harus dipastikan makannya? 

"Makan, Mba? Bukannya saya hanya jagain Non Raniya saja ya, Mba?"

"No no no no! Lo jagain, sekaligus ngasuh! Lo pikir, Pak Tama bakal biarin nenek Sumi yang udah tuir begitu jagain anaknya yang ... " Dia celingukan sebelum melanjutkan. "Nakal."

Aku mengangguk sajalah. Aku tak bisa menggeleng di tempat ini. Senakal apa sih anak itu? Dari protes yang kulayangkan saja, sudah tidak ada balasan persetujuan dari Sandra. Aku benar-benar harus menjadi sitter untuk bayi besar itu. 

"Sekarang lo ke Bi Sumi! Minta buku panduan Raniya. Lo bisa baca kebiasaan dia di buku itu." Sandra mengecek waktu di jam tangannya. "Ah, jam 3 sore. Buka handphone lo. Catat!"

Aku sontak membuka ponsel. Dia lantas menjabarkan jadwal yang harus kuketahui detik ini juga. 

"Jam 3 sore, waktunya dia mandi. Lanjut jam 4 les biola di ruang musik. Jam 5 les bahasa Perancis. Jam 6 makan malam sama Bapak, di ruang makan utama. Jam 7 belajar materi sekolah besok pagi. Jam 8.30 waktu bermain 30 menit. Selebihnya di jam 9 tepat, lo udah harus bisa tidurin dia, saat Bapak cek dia ke kamarnya. Kalo gagal, siap-siap aja besok pagi lo kemas-kemas lagi buat pulang!"

Sumpah! Hidup bayi besar itu mirip sekali dengan orang tuanya yang terjadwal. Melelahkan sekali.

"Mba Amna. Rani mau boneka Elsa yang gedeee banget! Kemarin Rani liat di British Toys Bazaar. Mau ada lelang Elsa yang bajunya dari emas. 35.700 USD. Bilangin ke Papa ya Mba Amna?" cerocos Rani saat aku menyisir rambut panjangnya, setelah memandikannya di kamar mandi berjacuzzi dalam kamarnya. Dia masih tetap super aktif. Membasahi apron anti airku dengan menciprat-cipratkan busa mandinya. Hingga lengan pun ujung celanaku turut basah. 

Sulit Akur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang