22. Pesta Tak Wajar

2.7K 554 40
                                    


Jika ada yang bertanya apakah aku pernah mendatangi pesta tidak wajar seumur hidupku? Jawabannya adalah pernah. Ini pesta tidak wajar kedua yang kuhadiri. Pertama kali, aku dan Vava pernah terjebak dalam pesta piyama milik anak salah seorang konglomerat Surabaya. Wajar saja jika kami datang untuk mengucap selamat ulang tahun, makan hidangan yang disediakan, lantas menuntaskan pekerjaan kami sebelum pulang. Berkenalan dengan seorang wakil menteri ESDM kala itu dan berakhir menyepakati janji temu selanjutnya. Bapak Hatta Sunjaya. Soal dress code serba aneh, aku terbiasa memakainya. Berbagai jenis penyamaran berikut properti dan pakaian yang harus kami kenakan, aku terlalu sering mencoba hal berbeda. Tidak wajarnya pesta pertamaku itu, adalah kami diharuskan tidur di ranjang yang telah disediakan berjajar di aula selama minimal 3 jam. Apa fungsinya? Tak ada. Itu hanya pesta kekanakan menyebalkan. Aku dan Vava terpaksa jadi kehilangan Pak Hatta karena jam bangun kami berbeda. Terkadang, orang kaya terlewat aneh. Mereka kebingungan membuang uang dan memikirkan satu hal baru yang orang lain tak akan bisa tandingi dalam hidup mereka.

Pesta tidak wajar keduaku adalah sekarang. Kami dituntut memakai gaun serba hitam karena akan menghadiri pesta gelap. Tak akan ada lampu menyala di bibir Pantai Gili Meno. Kabar yang terdengar hanya akan ada api unggun dan obor yang jumlahnya bisa dihitung jari dan ditempatkan di area utama saja. Area makan, minum, dan panggung utama saja.

Seorang konglomerat Lombok bernama Sultan Asmar-pendiri resort yang akan diresmikan lusa- ingin mengadakan temu ramah tamah bersama para investor dan keluarga. Beruntungnya, aku membawa lensa kontak berteknologi night vision buatan peneliti SPYDER.

Aku masuk ke kamar usai membersihkan mulutku yang bau muntahan.

Membuka kompartemen khusus di koper.

Memilah-milih senjata berukuran kecil untuk kubawa.

Mengenakan korset ketat agar sewaktu-waktu kram perutku tidak lagi mengganggu pekerjaan. Sekaligus menghalau jika seseorang ternyata menendang untuk ke sekian kalinya perut yang entah ada nyawa bersemayam di dalamnya atau tidak.

Menyimpan pisau di lipatan korset. Menutupnya dengan gaun hitam berbahan sutra modern yang Sandra siapkan.

Menyelipkan Glock Meyer 22 berkapasitas 15 putaran mesiu di clutch anti X-ray yang akan kubawa.

Sedikit make up untuk mempercantik diri, memasang softlens, dan sepasang airpods kewajiban bodyguard Wiyatama. Airpods yang menghubungkan kami pada semua pengawal.

"Kamu sakit? Shenny laporan kamu muntah-muntah," tanyanya selepas keluar dari mobil Mercy mahal yang disediakan Mr. Sultan untuk kami. Di sini aku bertemu lagi Bang Roni. Pria bernama samaran sama dengan nama aslinya. Ia bekerja sebagai sopir profesional Tama.

Aku mengedikkan bahu alih-alih menjawab pertanyaan Tama, setelah menolak lengannya yang hampir saja mengalung di pinggangku. Aku lebih memilih menggandeng Raniya dalam genggaman. Kami diikuti 8 bodyguard termasuk aku di dalamnya. Alex, Demian, Wikan, Reno, Panjul, Mona, Shenny, dan aku. Raya dan Bi Sumi tidak turut serta. Mereka menunggu di hotel. Sandra telah lebih dulu stand by di lokasi sejak tadi sore ia memarahi keleletan kami.

"Pak."

Demian menyerahkan airpods pada Tama sebelum menghilang menempati pos ia berjaga. Aku mengernyit. Tak biasanya Tama mengenakan alat komunikasi kami. Kulihat juga ia memberi arahan pada para bodyguard saat aku tiba di lobi hotel tadi. Gara-gara gejolak di perut, aku ketinggalan banyak hal. Shenny juga tidak memberitahu apapun. Ia hanya bilang, 'penjagaan seperti biasa.'

"Tumben? Kata Shenny, Bapak nggak suka telinga yang berisik."

"Karena sekarang number of priority berubah."

Sulit Akur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang