"Saya terima nikah dan kawinnya Amina Arshila binti Hamdan Ramli, putri Bapak untuk saya sendiri dengan mas kawin emas seberat 10 gram, dibayar tunai."
"Gimana, saksi? Sah?"
"SAH!"
----------------
Halaman sebuah hotel di Nusa Dua Bali, dengan hamparan rumput pendek nan hijau, disulap menjadi tempat perhelatan pernikahan yang sangat apik. Di sana-sini, tersemat kain putih panjang dengan kombinasi pink dan biru laut. Bunga mawar putih berpadu padan dengan hydrangea biru dan hijau, juga baby's breath kecil-kecil, terlihat begitu memikat.
Di sisi yang berbeda, bentangan pantai dengan pantulan kristal air yang tersorot oleh matahari, menambah kesejukan pesta pagi ini.
Pada beberapa titik, wedding decorator juga sukses menata meja-meja kokoh dari jati itu, sedemikian rapinya. Mereka dibiarkan tanpa taplak. Cutlery set tersusun di atasnya, tepat di depan masing-masing kursi kayu berwarna senada. Di tengahnya, ada satu vas besar dengan kombinasi bunga yang sama. Lilin-lilin beraroma menenangkan, ikut memeriahkan dekorasi itu.
Desember sendu.
Aku mendongak ke atas dari kursi pelaminanku, di saat tak ada lagi tamu yang ingin mengucap selamat. Ada mendung menggantung di sana, meskipun sepertinya tak cukup banyak untuk bisa memuntahkan muatan airnya. Ini musim penghujan. Kenapa Arya keras kepala sekali mengadakan pesta kebun, alih-alih indoor wedding? Atau, dia memang tak ingin menyamakan ini dengan pesta pernikahanku sebelumnya?
Bulan ini, Desember sendu.
Seseorang mengubah statusku lagi. Kembali lagi, berstatus menjadi seorang wanita menikah. Sah menjadi seorang istri. Dan sebentar lagi, sah sebagai seorang ibu, jika dia berhasil menghamiliku.
Ini, benar-benar Desember sendu.
Hari ini, sudah seharusnya nama Bima menghilang dari pikiranku. Terhapus dari hatiku. Namun, gagal. Rumah tangga kami selama lima tahun dulu, terlalu dalam. Debaran di setiap misi yang kami tuntaskan bersama, seolah sudah meleburkan hati kami menjadi satu jiwa.
Lagi-lagi, ini Desember sendu. Di bulan ini, aku Amina Arshila, resmi menjadi Nyonya Arya Abikama.
"Kenapa?" tanyanya menelisik ke dalam manikku.
"Gak kok, Bang. Ini mau ujan gak sih? Mendung. Bikin panik aja."
Dia mendekatkan tubuhnya. Tangan kanannya seenaknya mengalung di pinggangku.
Sret!
Dia menggeser badanku. Aku membelalak memperingatkannya.
"Kalo hujan juga gakpapa. Biar jadi pesta nikah paling epic sepanjang sejarah! Biar kamu inget terus."
"Dih! Bukannya epic, malah basahlah semua. Siapa tau makeup Ami gak waterproof. Cem zombie ntar!"
"Gak mungkin! Pasti waterproof ! Ntar Abang buktiin ya di kamar mandi?"
Bugh!
Aku memukul perutnya dengan sikuku.
"Aww ... wah wah, Am! Sakittt! Tenaga kamu ya, bener-bener."
"Duh, maaf. Mana yang sakit?" jawabku dengan sedikit bumbu rasa bersalah. Aku hanya menggunakan setengah kekuatanku. Aku masih sadar betul kalau dia suamiku, dan tak akan kubuat pingsan di pelaminan kami sendiri.
"Sini," tunjuknya. Aku melongok mendekat pada perutnya. Tanganku dengan malasnya mengusap bekas tonjokanku tadi. Tapi, tiba-tiba ...
"Nah!! Ketangkep 'kan kamu ya! Sama suami harus lembut. Disayang-sayang. Jangan KDRT, Amii ... !"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sulit Akur (COMPLETED)
RomanceAmna dan Raden. Nama samaran dari dua orang mata-mata, yang berasal dari dua agensi berbeda, namun mempunyai misi yang sama. Menaklukan gembong mafia, dan mengungkap semua bisnis terselubungnya. Bagai kucing dan anjing, mereka tak pernah akur. Salin...