18. Mau Dibawa Kemana

3.3K 656 29
                                    

"Number 3 was safe. Gunshot wound to the left leg. Active bleeding. In 5 minutes, we arrive at hospital D," 

Rumah sakit D adalah Rumah Sakit Pademangan Medika. Sandra telah mereservasi tiap rumah sakit dalam radius 10 km, dua kamar utama VVIP, jika terjadi hal yang tak diinginkan pada Tama. Raden mematikan sambungan dengan tim kami, usai memberikan sinyal terakhir. Ia menekan tombol off. Tangannya berlanjut menyambar earphone-ku. Mematikan, lantas melempar kedua alat itu ke jok depan. Penuh amarah. 

"ARGGGHH!! GILAK!!!"

Matanya gelap, pun berkaca memandangku. Tangannya mengusap helai rambutku yang menjuntai. Pasang kakinya sejak tadi sudah menjadi alas bagi kepalaku yang terbaring lemah di pangkuan, demi agar kaki ini bisa aku angkat dan sandarkan ke pintu. Mengurangi darah yang tak berhenti mengucur. Denyutnya makin terasa menghunus. Nyerinya bukan main. Baru kali ini aku tertembak. Tubuhku meremang sejak tadi. Dingin menyergap. 

"Lo curiga siapa Bang, yang mau tembak Tama?! Sejak awal, jalan-jalan kayak gini, bukan ide bagus!!! Dan, sekarang ..." tanyanya geram, dengan rahang yang begitu ... tegang. 

"Bukan urusan kita! Biar Gandhi yang selidiki!"

Pasang mata itu menatapku penuh pilu. Kulingkarkan tangan di pinggangnya. Kutenggelamkan wajah di perutnya. Setidaknya, jika ini akhir hidupku, aku mendapat kesempatan besar bisa meninggal di pangkuan suamiku.

"Dingin ... sakit ... " rintihku. 

Raden mengeratkan pelukannya padaku. Ia menggoyang-goyangkan bahuku dari dekapannya. 

"Tahan, Sayang! Jangan tidur! Tahan! Tahaaannn! SIAAALL!!! BANG BISA LEBIH CEPET GAK SIH?!!!" Ia menendang jok Bang Roni. 

"DIEM LO!" teriak Bang Roni pada bawahannya, yang sudah pasti adalah rekannya mengintai. Aku tak tahu, berapa banyak orang yang mereka kerahkan di misi ini, dan di pos-pos mana saja. Benar kata Tama, tak ada satupun manusia yang bisa kupercayai di rumah itu. Lalu, bagaimana dengan lelaki yang sekarang sedang mendekapku ini? Kurasakan ia tulus. Namun terkadang, tindakannya juga tak tertebak. 

"Apa ini namanya mati pelan-pelan?" tanyaku. 

"Stop ngomong sembarangan!!" jawab Raden lirih.  

"Maafin, do'ain Ami, Bang ... Ami takut," ucapku lirih, makin kehabisan tenaga. 

"100 meter di depan belok kiri!!" 

Raden tak membalas permintaanku akan do'a. Ia justru memberi arahan rute. Kudengar Bang Roni mendesah kesal. Ia juga sudah sejak tadi mematikan sambungan komunikasi kami. Sejak pertama menyapaku, ketika masuk mobil tadi. Sekaligus menginformasikan bahwa mobil yang ia bawa kali ini, telah aman dari berbagai macam jenis penyadap. Sesaat setelah itu, Bang Roni langsung menawarkan dua pilihan padaku. Apakah aku akan dengan sendirinya mengungkap jati diri secara sukarela, atau, menunggu mereka memaksaku terlebih dahulu. Beruntungnya, Raden mencegah. Ia justru memarahi atasannya, jika pria itu menginterogasiku di tengah nyawaku yang sedang berada di ujung jurang kematian. 

"Maksud lo?!" teriak Bang Roni. Aku hanya mendengar. Tak lagi punya kekuatan untuk ikut dalam pembicaraan. 

"3 menit dari sini ada RS Bedah! Belok sekarang!"

"Lo gila? Mau bawa Ami kabur?! Belum saatnya! Sekejap aja Tama bisa lacak posisi mobil ini, Kambiiinngg!!!"

Bang Roni tetap membelokkan mobil, meski ia menentang. Aku merasakan tubuhku hampir limbung, jika tak Raden tahan. Bang Roni sama sekali tak mengurangi kecepatannya sejak tadi. Mengendara layaknya orang kesetanan, demi menghindari dari entah siapa yang menyerang kami barusan. Tapi satu yang kuyakin, mereka bukan dari kepolisian. 

Sulit Akur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang