26. Lautan Manusia

2.4K 606 79
                                    

"A strange man, about 25 years old, with black backpack is walking towards the stage. All eagles, please be alert! Repeat!"

Aku mengedar ke sekeliling. Mencari seseorang bertas ransel hitam yang berjalan ke arah kami. Demian berbisik pada Tama. Alex melirikku sebentar, sebelum turut menelusuri satu per satu kerumunan orang di depan. Bagai mencari jarum di tumpukan jerami. Target peserta yang hanya 1500 membludak hingga 3000 orang. Kebanyakan berdesakan di bagian bazaar pasar murah dan antrian sembako. Kulihat tangan Alex bahkan telah siap menarik pistol dari holster-nya yang tersimpan di ikat pinggang.

"Bawa Amna pergi."

Aku membelalak saat Tama dengan tenangnya memberi perintah pada Alex. "Saya?"

Tama mengangguk dan kembali bercengkerama bersama Pak Kanis. Seolah takkan ada yang terjadi. Aku diseret Alex menuju parkiran. Melewati belakang panggung. Tepat setelah aku melangkahkan kaki melalui banner besar panggung berbahan kayu dan triplek, seseorang muncul tiba-tiba dan menggores pisau di lengan kananku.

Aku mendesis.

Darah mengalir.

Alex berbalik. Ia turut terkejut.

Pengejaran terjadi.

"Number 2 got knife attack on her right upper arm. She's waiting on backstage. The perpetrator run to square 4."

Suara Alex memberi laporan. Aku membuang airpod-ku dan berlari ke sisi panggung lain. Tepat di belakang deretan meja kursi yang diduduki banyak tokoh politik Bandung. Aku tak ingin diselamatkan sekarang. Aku harus menemukan siapa si jahil yang terus main nyawa-nyawaan padaku ini. Menahan sakit, aku menekan kuat lengan dengan goresan menganga sepanjang 15 cm. Pasang mata ini awas mengikuti arah kerumunan manakah si pelaku bergerak dan Alex mengejar. Hingga seorang perempuan menoleh dan melihat darah mengalir di lengan, ia berteriak amat kencang.

Merusak ketenangan yang ada.

Suasana kacau.

Semakin kacau, ketika satu tembakan lepas ke udara. Sialan memang!!

Orang-orang berhamburan panik. Teriakan menggaung dimana-mana. Lautan manusia campur aduk antara polisi dan warga biasa. Pejabat berpengaruh politik mulai meninggalkan kursi bersama ajudan. Aku masih bersembunyi di sini. Mengarahkan pistol mencari siapa si biang kerok.

Ayah.

Aku harus mencari Ayah.

"Aaaaaa!!! Astagfirullah astagfirullah!!" Teriakan warga.

Satu tembakan lagi. Mesiu menembus dada Pak Kanis. Ia luruh saat menuruni tangga panggung. Keadaan makin berantakan. Tama dan Demian telah pergi melalui jalur penyelamatan yang berlawanan dari tempatku mendekam. Meninggalkan aku dan beberapa bodyguard radius 3 yang masih bertahan.

Lenganku makin berdenyut. Aku berusaha tertatih berlari ke kerumunan dan mencari satu anggota kepolisian, siapapun itu yang bisa aku tanyai.

"Pak Hamdan Ramli!! Udah diamankan?!!"

Ia kaku berdiam di sudut. Tak menjawab pertanyaanku. Bodohnya, mungkin pria ini ketakutan. Baru pertama kali menghadiri prosesi baku tembak sekaligus bisa jadi acara pemakamannya.

"Tangan kamu berdarah!!"

Suara yang kukenal, berbisik tegas di belakang. Sontak, aku menoleh.

"Ayah!!" pelukku tanpa pikir panjang di balik meja bazaar.

"Ayo!!" Ayah menarikku keluar dari medan tempur. Kami berlari membungkuk dengan tangan besar itu menarikku erat, hangat, kuat, dan penuh perlindungan.

Sulit Akur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang