11. Partner Hidup, atau Misi?

4.3K 767 32
                                    

Tama benar mengajakku latihan tembak. Dengan aku yang masih berpura-pura bertindak layaknya seorang penembak di tingkat menengah. Peluru meleset, pegangan kurang yakin, pun kuda-kuda yang masih kikuk. Masa bodoh dengan perkiraannya padaku sebelum ini. Kuharap, ia lupa ingatan saja. 

Uji nyaliku berlangsung hanya 30 menit, sebelum diinterupsi oleh sekretaris bergincu merah coral itu. Berderet jadwal Tama setelah ini, sudah menunggunya. Aku sudah berganti baju, mandi sore, sholat Ashar, lantas akan menyusul Raniya di ruang belajar. Bertukar jaga dengan salah seorang bodyguard perempuan lain yang sejak tadi kumintai tolong berjaga. Raniya benar-benar tak terlepas dari pengawasan. Kisah pilu yang kutahu, Tama menjadi overprotektif begini, sejak istrinya ditemukan di kamar utama dalam keadaan tak bernyawa. Kabar burung yang beredar, sang istri diracuni. Namun yang menjadi misteri, tak disebutkan di data yang kuterima, siapa musuh besar seorang Wiyatama. 

Ada satu lagi perempuan paruh baya dengan track record kesuksesan luar biasa, pemilik asli Rastari Aviation yang kini telah diwariskan atas nama anak sulungnya. Nyonya Rastari. Istri almarhum seorang Teguh Wiyatama, pendiri Gold Mining Tbk. Meski lahir dari keluarga sendok emas, Tama tetaplah cerdas. Ia bukan anak manja dengan segudang kegagalan. Prestasi mengembangkan Gold Mining dan Rastari Aviation menjadi makin besar adalah bukti, bahwa targetku kali ini, bukan sekadar main-main. Nyonya Rastari juga tinggal di Lembang. Namun, bukan di rumah ini. Rumah beliau lebih ke atas lagi. Suatu tempat yang tak banyak orang tahu, karena pertemuan sang Ibu dengan para klien yang terkadang masih sering menanyakan kabar beliau, terlaksana di istana putih ini. 

Kudengar tangisan, dari koridor sebelah ruang belajar. Raniya sedang menangis. Jelaslah. Otak kecilnya dipaksa menampung segudang ilmu baru yang menurutku belum tentu ada gunanya di masa depan. Les bahasa, musik, tata krama, renang, bela diri, melukis, bisnis, astaga! Sebenarnya apa niat utama Wiyatama bagi anaknya? Tujuan apa yang terlintas di otak pengusaha itu, akan menjadikan anaknya pribadi macam apa? Bisakah satu orang memiliki lebih dari satu dua profesi kelak di usia matang? Sanggupkah anak ini tidak menjadi gila lebih dulu sebelum mencapai sukses dari hasil belajarnya ini? 

Belum sempat kujawab lamunan yang berputar-putar di kepala, saat aku berbelok ke arah pintu ruang belajar, ada sosok yang kukenal baik dua bulan ini menjadi teman hidupku. Arya Abikama. 

Sontak, aku berbalik. Bersembunyi di balik dinding. Menenangkan debaran jantung yang berdetak layaknya pacuan kuda. Semoga ia tidak menyadariku, yang dengan sigap menghindar. Astaga! Satu lagi tambahan topik lamunanku sore ini. APA YANG ARYA LAKUKAN DI SINI? 

Tunggu! 

Seragam hitam?

Rambut yang terlihat lebat?

Kumis juga jambang yang mulai tumbuh? 

Demi sejumput kebaikan yang telah kuperbuat akhir-akhir ini. Tolong Allah, singkirkan pria itu dari sana. 

Aku mengintip dari kaca rias kecil. Sial! Ia masih di sana. Wait! Rambutku sudah kupotong. Aku punya poni. Teringat sesuatu, aku berlari ke kamar Raniya, mengambil make-up yang kubawa. Kutebalkan alis layaknya ulat bulu. Eye liner memberi kesan bengis di mata.  Memoles contour demi mengubah bentuk mukaku yang ternyata tak signifikan. Kurasa lipstik gelap bisa menyamarkan bibirku yang terbiasa pucat. Apalagi? Aku panik. Kujentikkan jari.Wig! 

Kupasang wig. Tapi Raniya, Tama dan Sandra sudah mengenali tampilanku begini. Mereka akan protes. Arya! Kekesalanku memuncak. Apa ini pekerjaan khusus yang ia sebut beberapa minggu kemarin?! Rasanya aku ingin membanting piring-piring di rumah ke arahnya. Beraninya dia, membohongiku. 

Kulepas wig. Masa bodoh. Aku di sini menyamar untuk Tama. Bukan Arya. Jika memang ia mau mengungkapku, mungkin ini saat yang tepat bagi kami, lenyap bersama-sama di tangan Wiyatama. 

Kukuatkan hatiku. Bersikap tak kenal. Kuberjalan ke ruang belajar. Menempati sisinya berdiri di seberang daun pintu lainnya. Sikap siaga. Kurasa Arya tak mengenaliku dari balik kacamata hitamnya. Ia terdiam. Aku hampir tertawa. Buat apa Arya berkaca mata hitam di sore gelap, dengan kondisi ruangan tak seterang saat siang? Baiklah. Tapi itu lebih baik. Setidaknya bisa sedikit menggelapkan pandangannya padaku. Jikalau ternyata ia tahu bahwa di samping ini adalah istrinya, kuharap ia tetap pada sikapnya sekarang. Mungkin tempat kami bertugas sama. Tapi entah apa misinya. Semoga saja bukan akulah targetnya. Tapi, sama-sama ... Wiyatama. 

"Eh, Mba Amna udah datang." Raniya melempar tas beratnya ke arahku. Arya terkesiap, lantas menoleh. Tatapan kami bertubrukan. Arya diam saja. Tak ada sikap terkejutnya. 

"Ini ... ?"

"Sepertinya penjaga baru dari Bu Sandra, Non. Mas Raden bukan?" tanya Bi Sumi yang sejak tadi ikut menemani Raniya di dalam. 

Oke. Raden. Ternyata benar instingku. Ia sama menyamarnya denganku. 

Raden melepas kacamata hitamnya. Ia tersenyum manis. Pada Raniya, bukan aku. Raniya memekik kencang. Telingaku dibuatnya mendenging. 

"Ji Chan Wook!!!!!!!" Raniya meraih tubuh Arya. Dia memeluknya. Aku melengos. Dasar anak ini. Ji Chan Wook? Hahaha. Aku terbahak dalam hati. Iya, Arya mirip. Tapi jika dilihat dari lubang sedotan, dimana ia berdiri di atas bukit berjarak kilo-kilo meter dari kami. 

Dan herannya, Arya ... No! Raden mengukir senyumnya lebih lebar lagi. Padaku. Ia tersenyum bangga. Bangga, berselisih tipis dengan sebutan ... sombong. 

-----------

Raniya ternyata mudah sekali tidur, setelah kutepuk-tepuk punggungnya. Baru satu hari,  rasanya badanku remuk redam. Meski kemarin sudah sempat pemanasan lebih dulu. Tama puas dengan hasil kerjaku. Karena saat tadi ia mengecek, Raniya berhasil terlelap. Aku bisa sedikit membanggakan diri. Ternyata kemampuan keiburumahtanggaanku makin terasah. Tak ada buruknya. 

Saat aku sudah berpindah ke sofa, pintu terbuka. Aku bangun. Tanganku sudah mengacungkan pistol ke arah pintu. 

Ar ... Raden. Raden menguncinya. Kamar ini memang tak ada kamera pengawas. Tapi, di pintu depan yang seharusnya ia berjaga, ada. Menyorot tepat di sana. Ia pasti akan diminta pertanggungjawaban meninggalkan area jaganya. 

"1 menit. Bilang aja kamu minta bantuan aku cek keamanan kamar," ucapnya lirih di telingaku. Aku mematung. Dan benar, ia mengecek keamanan seluruh sudut kamar. Terutama, penyadap suara, dimulai dari sudut sofa. "Aku harap kamu punya jawaban yang tepat untuk ini."

"Jawaban?" tanyaku lirih, masih sok tak mengerti. Aku tahu, ia sudah memergoki identitasku. Sejauh ini, ia belum menemukan apapun yang ia cari berputar-putar kamar. 

"Apapun jawaban lo! Yang pasti, ini bukan tempat bermain. Jangan main-main! Lakukan cepat tugas lo, kerjain baik-baik, dan jangan buat masalah!" ucapnya datar. 

Sofa, done. Lampu tidur, done. Kamar mandi, done. Balkon aman. Ranjang, done. Lampu atas, done. Lemari, done. Raden tak menemukan satupun penyadap, hingga akhirnya tangannya melambai menyuruhku mendekat. 

"Aman!" ucapnya lantang, dengan menunjuk satu tempat di belakang lemari baju. Sial! Ada penyadap suara di sana. "Lo hati-hati. Yang kita jaga anak bos!"

Aku menjawab dengan sedikit gemetar. "Thanks, Bro. Lo udah bisa keluar!" usirku dalam artian nyata. Beruntungnya, ia memahamiku. Saling mengungkap, akan membahayakan kami berdua. 

"Lah. Diusir gue? Padahal gue pengen tidur sini! Ada cewek cantik di kamar!"

Sial! Masih saja ia menggoda!

"KE LU AR!!"

---------

😘😘😘😍😍😍😍

SHARE2 YANG BANYAK yaaa kalo kamu syukaaaa. Di lapak ijo sebelah, aku usahakan update tiap hari. Di sini 3 hari sekali minimal.

Sulit Akur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang