Tama menodongkan ujung pistol ke keningku. Kedua mata penuh ketakutan ini memejam. Ia menarik pelatuk.
Tak ada bunyi letusan meski wajah ini sudah mengernyit melafazkan kalimat dzikir yang pernah Arya ajarkan.
"Sayang sekali. Pelurunya habis." Aku membuka mata. Melengos jengah mendengarnya mencandai nyawa. "Konsekuensinya, kita akan tetap menikah."
Tama menyimpulkan senyum dari duduknya di atas meja. Ia hanya mengenakan vest abu gelap tanpa jas. Masih terlihat segar walau penunjuk waktu telah berada di angka 9 malam.
"Kenapa? Saya masih bersuami."
"Saya bisa panggil pengacara saya untuk mengurus surat perceraian kalian."
"Bapak jangan mencandai agama?"
"Saya tidak percaya agama. Saya hanya percaya hukum dan itu mudah untuk Wiyatama. Segala hal tentang anak saya, permintaan dia, saya tidak pernah bercanda."
Aku kembali mengalihkan pandang. Menikmati tebaran bintang di luar balkon. Ternyata, hari pemakamanku bukan hari ini. Allah masih memberi jeda.
"Anak ya? Baru kali ini saya menikah karena alasan anak."
Tama menolehkan daguku memanfaatkan ujung pistol. Berdebat dengan tukang atur tidaklah mudah.
"Tentang saya juga. Kita coba pernikahan ini. Kalau cinta bisa hadir, kamu selamat. Kalau kamu berkhianat, saya pastikan Ibu Hamdan Ramli akan kehilangan satu lagi anggota keluarganya."
Aku berdecih. Tak lagi takut pada pengoleksi barang haram ini.
"Untuk apa hidup sama orang yang nggak bisa dipercaya? Cinta nggak akan hadir kalau Bapak masih mencurigai saya."
"Kamu masih ingat obrolan kita tentang kepercayaan? Kamu lolos tes pertama, Amna." Tama berdecak. "Ah, haruskah saya panggil Ami?" Seulas senyum kembali muncul. Ia sepertinya bahagia sekali mengerjaiku sejak tadi. "Menurut kamu, mungkin kamu sedang kehilangan semangat sampai mau menyerahkan nyawa ke saya. Tapi menurut saya, kamu jujur. Dan saya suka itu."
Aku ingin bilang kalau dosa-dosa Rama Wiyatama ini jika dikumpulkan mungkin telah menyentuh tingginya Gunung Himalaya. Termasuk, aku. Sepertinya tak jauh beda dari dosa yang Tama punya. Mungkin, jika diibaratkan kesalahan dunia yang kutoreh telah mencapai puncak Gunung Fuji di Jepang. Ah, logika berpikirku memang amatiran. Pantas saja Arya sering menertawaiku.
Tak ada yang tahu takaran tepat dosa juga pahala manusia, selain Allah dan malaikat pencatat amal. Keburukan dan kebaikan sebesar biji zarah pun tak luput dari-Nya. Siapa tahu, Tama pernah melakukan kebaikan meskipun kecil dan sedikit. Bisa jadi, di masa depan ia akan menyesali perbuatan sebelum ruh dicabut dari raga.
Allah bisa menghapus segala dosa dalam sekejap jika orang itu bertobat. Tak perlu manusia yang serba kekurangan ini sok sibuk menakar amal orang lain, seolah kesalahan Amna Arisa yang paling sedikit. Sudah kubilang, aku telah menumpuknya setinggi gunung. Semoga masih ada waktu tersisa bagi kami berdua, menghapus bongkah demi bongkah pemberat masuk ke surga itu.
Matahari dan bulan rutin berganti tugas. Raden kembali tak terlihat dari pandanganku di balkon. Saat Tama kutanyai, ia memecat Raden. Beruntung, Raya belum membisikiku berita tentang kematiannya. Jangan sampai. Kabar pernikahan Amna dan Raden kian santer. Pengacara mulai mondar-mandir menyusun rencana. Hatiku kocar-kacir. Menunggu Doni membawa surat persetujuan cerai Arya. Makin remuk, ketika benar adanya, pria berkepala plontos itu menunjukkan tanda tangan Arya di sana.
Aku menahan tangis.
Ini kenyataankah? Atau, salah satu bentuk dukungan Arya melanjutkan misiku? Bukannya ia akan berusaha sekuat mungkin menahanku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sulit Akur (COMPLETED)
RomanceAmna dan Raden. Nama samaran dari dua orang mata-mata, yang berasal dari dua agensi berbeda, namun mempunyai misi yang sama. Menaklukan gembong mafia, dan mengungkap semua bisnis terselubungnya. Bagai kucing dan anjing, mereka tak pernah akur. Salin...