5. Kepompong Selimut

5.3K 815 36
                                    

"Yuk!"

Arya tidak memenuhi janjinya. Dia masih menggandeng tanganku bahkan sejak tadi kami turun dari pesawat, di bandara, hingga kini menaiki taksi yang akan membawa kami ke rumahnya. Rumah yang dibelinya sejak usia dua puluh lima tahun. 

Hatiku sedikit goyah. 

Rasanya, kehangatan menjalar masuk ke jiwaku. Tangan dia memang hangat. Suara dia pun renyah dan menenangkan. Telingaku hampir tidak pernah bosan mendengarnya bicara. 

Arya lelaki pendiam. Jadi, sebuah kejadian langka jika dia berbicara lebih panjang dari yang biasa aku dengar. Rekor pertamanya, adalah saat kami beristirahat setelah berlomba sepeda di daerah Ubud. Duduk berselonjor menatap hamparan sawah, sambil mengobrol hal-hal yang dulu pernah kami alami semasa SMA. 

Rekor keduanya adalah sekarang. Sejak tadi dia sibuk memberitahuku tentang ruangan-ruangan di rumah baru kami, setelah meletakkan asal dua koper besar di ruang tamu. 

"Di sini ruang kerja aku. Kamu bisa baca buku-buku di sini kalo kamu mau."

Arya membuka ruangan besar dengan rak buku super penuh hingga di baris teratas. Dia ternyata ... kutu buku. 

"Nah ini, kalo kamu mau masak. Kalo gak mau masak, aku gak akan paksa. Kita bisa beli," jelasnya sambil masih menuntunku kemana-mana dalam genggaman tangannya. 

"Kamar kita?" tanyaku polos. 

Arya terkekeh. 

Kami menaiki tangga dengan banyak foto kecilnya terpajang di dinding, menuju lantai dua. Kapan-kapan, aku akan lebih mengamati kumpulan foto itu. 

Sudah ada kamar tamu, dapur, ruang keluarga, dan ruang baca. Jadi sepertinya, lantai dua hanya ada kamar tidur. 

"Bang, kalo pindah Bandung, rumah ini kosong dong?"

Arya mengangguk. 

"Sayang juga ya? Gak pengen disewain?"

"Terserah kamu aja."

"Kok aku? Ini 'kan rumah Abang."

"Rumah Abang, rumah kamu juga."

Benar juga. Inginku, dia tidak usah menyewakan rumah ini untuk orang lain. Dia saja yang menempatinya. Sedangkan aku, menempati apartemen Bandung. 

----

Malam ini, aku memasak tumis jamur dengan lauk ayam goreng, yang bahannya aku beli di warung sebelah rumah. Warung Bu Darmi. Aku harus sering-sering mengakrabkan diri dengan Bu Darmi, karena gosip tetangga beredar biasanya dimulai dari warung. Pun jika menyelidik, partnerku memulainya dari warung. 

Soal masak-memasak, aku sudah pasti jago. Lagi-lagi, aku harus berterimakasih pada SPYDER.

Selagi aku mengolah hidangan di atas kompor listrik canggihnya, Arya membantu menyedot debu-debu tebal yang sudah menempel di perabot. Aku terperanjat ketika kemudian dia mengambil sapu dan alat pel yang tergeletak di belakang pintu dapur. Wow ... jackpot! Arya mau melakukan segalanya. 

"Abang gak punya pembantu?"

"Ada. Tapi cuma bantu bersih-bersih tiap pagi. Dan selama nikah, dia minta libur dua minggu."

"Kemaren-kemaren, makannya gimana?"

"Beli."

Aku berowh-ria. 

Usai makan malam, kuberi dia tugas mencuci piring, untuk sekedar mengulur waktu. 

Satu hal yang membuatku masih penasaran. Ini sudah hampir seminggu dan sentuhan dia padaku hanya masih sebatas genggaman tangan, juga sekali pelukan yang gagal fokus karena tetiba aku mengingat dia adalah Bima.
Kapan aku akan hamil jika dia terus-terusan seperti ini?  

Langkah kaki terdengar menaiki tangga rumah dua lantai bergaya Eropa ini. Aku sudah bersiap dengan jurus pamungkasku yang sudah pasti takkan bisa Arya elak lagi. Beberapa kali sudah terbukti bisa membuai para pria, saat aku menjalankan misi. 

Pintu terbuka. 

Pose menggoda, baju setipis kapas, seringan bulu, juga makeup sensual sudah kupoles cepat saat dia mencuci piring tadi.

Arya membelalak. Hanya beberapa detik, hingga dia berbalik. 

"Kamu ngapain?!"

Kudekati dirinya.

"Ayah udah minta cucu," jawabku mendayu-dayu. 

Sial! Aku rasanya ingin muntah menggodanya seperti ini. Ada rasa tidak ikhlas dalam hatiku. Aku hanya ingin misi yang keluarga bebankan padaku segera tuntas kukerjakan. 

"Trus?"

"Ayo?!" ajakku. 

"Aku gak mau kalo gak ada cinta antara kita!"

What? Cinta? Sampai kapan menunggu cinta kami bersemi? Konon orang jatuh cinta bisa sampai berbulan-bulan. Mungkin bertahun-tahun. Tidak bisa kah dia menjalankan rumah tangga layaknya pria lainnya? 

Arya melepas pelukanku dari belakang, berjalan menuju ranjang, mengambil selimut tebal kami, lantas memutarkannya menutup seluruh tubuhku menjadi kepompong. 

Arya meraih kakiku. Dibopongnya aku ke atas ranjang. Dia tidur memeluk si kepompong tak berdaya ini. Matanya terpejam. 

Aku tidak bisa lagi melihat ekspresinya karena wajahku ditenggelamkan ke lehernya. Tangan kanannya mengusap lembut rambutku. 

"Begini lebih aman," ucapnya terakhir. 

Baiklah, setidaknya hari ini ada sedikit progress. Dia tak lagi memunggungiku. 

Sial! 

Berapa lama aku harus menjalani ini semua dengannya? 

--------

😁😁

Doain lancaar jaya ya ide si agresif Ami menaklukkan si alim Arya ... atau malah kebalik nanti 😂

Sulit Akur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang