33. Musuh Dalam Selimut

2.8K 578 61
                                    

Beruntung, besok adalah hari Minggu. Aku dan Raniya diberi privilege untuk menginap di Panorama selama semalam. Usai lamaran tema peperangan tadi sore, Tama tak lagi menampakkan batang hidungnya di hadapanku. Ia sedang meredam emosi besar lantaran baru kali ini ada pemberontak yang tak bisa diatur oleh tangannya sendiri. Parahnya lagi, pemberontak itu adalah calon istri yang meminta banyak syarat.

Shenny dan Mona menyewa kamar sebelah. Pertahanan kami lengkap, diperkuat oleh Reno dan Panjul yang masih menjadi tangan kanan Tama untuk menjaga kami. Mereka mengatur waktu tukar shift di depan. Tanpa aku lagi, setelah cincin ini resmi tersemat di jari manis kiri. Ada untungnya, ternyata.

Rekap jumlah permintaan dan persediaan barang dagangan Tama, nama-nama klien yang terlibat dalam 5 tahun terakhir, kuota impor senjata ilegal, pendistribusian paket ganja selama 3 tahun terakhir, dan peta lokasi calon ladang ganja terbaru kerjasama dengan Wilman Reinhard.

Wow!

Kucari nama Ram Omar di sana.

Wow sekali lagi!

Seperti yang telah kuduga, ia adalah salah satu klien langganan Tama. Bukan mengejutkan lagi, jika si Bos Besar mendapati aku memakai senjata yang jelas tidak disediakan bagi bodyguard Wiyatama. Sedikit menghilangkan info penting dan sepertiga data terakhir, kukirimkan email ini pada Ram Omar. Mengantisipasi Alex pun Rindi yang mungkin telah melapor lebih dulu pada Om.

Di sela membaca data yang aku dapat dari Arya, seseorang memencet bel. Sosok yang diizinkan menemuiku. Takkan ada yang akan lolos dari penjagaan empat bodyguard di depan, kecuali memang orang ini memperdaya dan punya kuasa.

Benar saja, Ishak muncul di pintu. Reno dan Panjul tak terlihat. Hanya dua perempuan dewasa yang saling menatap tak suka satu sama lain. Entah, sepertinya, cinta bersegi-segi akan kembali mencuat di sekeliling Ishak.

"Ada yang bisa dibantu?"

"Gue bisa masuk?"

"Sok akrab ya sekarang?"

Ishak terbahak.

"Teman?" Ia menyodorkan tangan menawari status baru. Aku masih terdiam sok menimbang. "Gue nggak punya teman di Bandung ini. Ya, kecuali si ponakan lucu satu-satunya. Bisa kita berteman?" tawarnya lagi.

Aku mengangguk. Melenggang begitu saja keluar dari kamar, tanpa menerima uluran tangannya. Ishak menyusul hingga mendahului berjalan di depan. Kami sama-sama menahan Shenny dan Mona untuk ikut. Reno turut tertinggal, menjaga Raniya yang sedang terlelap di kamar. Hanya Panjul yang berada di belakang kami. Menjaga jarak agak jauh.

Pria itu membawaku ke lantai paling bawah hotel. Tepat di depan deretan 3 kolam renang dewasa. Bersanding di sisi kanan, sebuah taman indah, terhias lampu-lampu bulat. Angin malam Bandung makin menyeruak, membuatku merapatkan lengan. Mendekap badan sendiri agar tak kedinginan.

Ishak baru memulai pembicaraan setelah kami cukup aman, sampai Panjul tak mendengar apa yang akan pria ini katakan. Namun, tak lepas dari pengawasan penjaga itu. Aku tahu benar gerak-gerik Ishak ini.

"Mau bicara apa sebagai teman?" tanyaku to the point.

"Rumana."

Aku mengernyit penuh curiga. Tak percaya pada topik yang ia pilih sebagai basa-basi perkenalan teman baru.

"Kamu percaya sama saya?" lanjutku yang masih kikuk menyapa akrab orang asing yang aku kenal beberapa hari ini.

"Sangat percaya. Amina Arshila. Istri intelijen. Anak seorang perwira tinggi kepolisian. Anggota SPYDER yang membelot dan sepertinya sedang cari tempat berlindung di ketiak kakak gue."

Sulit Akur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang