15. Kamar Berlapis Emas

4.5K 767 56
                                    

Pintu terbuka. Tiba-tiba saja. Begitu lebarnya. Kami terperanjat. Melepas pelukan dengan keadaan canggung. Bodohnya aku! Harusnya aku tak menggunakan perasaan dalam misi ini. Dan bodohnya Raden! Mengapa ia tak mengunci pintu layaknya dulu. Siluet Alex nampak berkacak pinggang di depan pintu. Beruntungnya lampu kamar Raniya sudah kumatikan. Semoga Alex tak melihat siluet pria siapa yang menjadi teman bermesraanku malam ini. 

"Temen lo di depan mana? Siapa dia?" tanyanya hampir maju ke menghampiri Raden.  

"Lo nggak perlu tahu!" jawabku berdiri, cepat-cepat mendorong Alex keluar dari pintu, agar tak perlu melihat sosok Raden. 

Alex tersenyum kecut, kala aku menutup pintu kamar Raniya. Ia berbisik lirih tepat di depan telingaku. 

"Gue kira, Amna selama ini gak butuh cinta, pacar, atau temen kencan, selain Bimo. Udah move on lo?" 

Ia jelas memergokiku. Aku mundur dari kukungannya. Mengibaskan tangan ke wajah. Sepertinya butuh angin segar. Mukaku tiba-tiba memanas. 

"Suka-suka gue mau kencan sama siapa. Ngapain lo ke sini? Lo nggak liat ini jam berapa? kilahku. 

"Bos nyariin."

Aku membelalak. 

"Jam segini?" 

Alex menaikkan bahunya masa bodoh. Ini sudah lewat tengah malam. Aku tahu benar jadwal tidur seorang Wiyatama yang terbiasa terlelap sebelum pukul 12 malam. Alex mengangguk. Lantas badannya berbalik. Meninggalkanku, setelah satu peringatan meluncur dari mulut besarnya. 

"Ah ya ... soal Raden. Lo harus hati-hati! Baru berapa hari aja, dia udah berani keluar dari aturan orang sini. Masuk kamar lo tengah malem? Dan bahayanya, sekarang dia ngajak lo membelot. Tahan nafas lo! Bos liat tadi, dia masuk ke pintu belakang lo itu!"

Argh! Ingin rasanya kutarik rambut ini kuat-kuat. Otakku hampir meledak! Alex tahu! Alex tahu kini aku dan Raden dekat!

Aku masuk dengan penuh amarah. Ingin melampiaskan segala kebimbangan yang menyerbu tiba-tiba. Benar. Raden terlalu mempengaruhiku. Sikap lembut yang bagaikan malaikat tak bersayap itu, begitu mudah meluluhkanku. Aku memarahinya. Bukan dengan serangkaian umpatan. Itu tidak mungkin terjadi di kamar ini. Hanya dengan satu kalimat, yang mengiringi tamparan telak di pipinya. 

"Ngapain lo di sini? Mau gerayangin gue lo? Tugas lo jaga di luar!"

Kuhujamkan pukulan dengan energi kemarahan di pipi kanannya. Berlanjut pipi kiri. Ia menahan dengan kedua tangan. Tubuhku dikuncinya. Aku berontak dengan kaki. Kutendang kelemahannya. Belum berhasil, kakiku sudah dikuncinya. Kuputar badanku. Terbebas. Kutahan di sofa kedua tangan si biang kerok yang beberapa menit lalu memberiku kehangatan. Kumundurkan kepala. Kukumpulkan kekuatan penuh. Lantas kubenturkan lagi kepalaku di keningnya. Layaknya tadi pagi. 

"Awww! Gila lo! Lo gak takut gegar otak?!" teriaknya, dengan wajah kebingungan bercampur meringis kesakitan. Ia sedang menebak dengan menaikkan sebelah alisnya, menyelam kedua mataku, tentang apa hal yang terjadi padaku barusan. Lantas, tersadar dengan sendirinya. Ia berpura-pura lagi. 

"Gue mau cek. Lo tadi teriak 'kan? Gue kira ada maling. Ternyata ... mimpi buruk lo?!"

"Bukan urusan lo! Keluar!!" perintahku marah. Aku sedang tidak berpura-pura. Aku benar ingin ia keluar. Atau, pergi sekalian dari sini. Ia mengganggu konsentrasiku. Ia mengacau rencanaku. Ia mengikis pertahananku. 

"Keluar!!!"

Raden keluar. Bukan karena aku terus membentaknya. Tapi, karena Raniya bangun dan menyalakan lampu meja. 

"Mba Amna?"

----------

"Papa ... "

Tama berbalik bersamaan dengan kursi kerja putarnya, yang sejak tadi menatap kegelapan malam dari balik jendela. Ia mengernyit. Lantas terbahak. 
 
"Hahaha ... pinter ya kamu, Amna. Bawa anak saya biar gak kena marah?" tawanya di kursi, menangkap anak perempuan lucunya dalam pelukan. Aku menunduk saja. Ia sudah bisa menebak apa tujuanku membawa Raniya. 

Sulit Akur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang