17. Dunia Fantasi

3.8K 683 64
                                    

Senyum Raniya terukir indah sejak kami mendarat di sini. Layaknya anak yang baru keluar dari gua setelah bertapa beratus-ratus hari. 

Tiga bodyguard utama Tama, juga Panjul, berdiri siaga saat kami menginjakkan kaki di tempat wisata, yang telah direservasi seharian hanya untuk anak semata wayang, yang ternyata juga penyuka es krim. Anak mana yang tak suka es krim?

Penjagaan dibagi menjadi beberapa tingkatan, saat aku dulu dibriefing ulang oleh Shenny. Radius 0 adalah penjagaan oleh para sniper, yang kami tak ketahui lokasi mereka berjaga. Radius 3 penjagaan paling luar. Radius 2 adalah dimana para pria yang telah dilengkapi senjata minimal 2 buah,  berjaga dalam jarak sekitar 50 meter dari target berjalan. Dan radius 1 adalah aku juga mereka, yang termasuk Raden. Ia tampan, dengan segala pakaian rapi ala bodyguard serba hitam. Tak lupa kacamata hitam itu bertengger di hidung mancungnya, juga wireless airpods hitam yang terpasang pada telinga setiap kami. Aku belum melihatnya, sejak kami terpisah malam itu. Seolah dipisahkan oleh jadwal, yang mungkin saja, bisa jadi, Tama yang mengaturnya, hingga kami tak pernah bersitatap. Kukunci pandanganku padanya saat aku, Raniya, juga Tama turun dari helikopter tadi. Entah apa yang aneh, namun ia berpaling membuang muka. Setelah aku memastikan Tama yang ternyata masih sibuk dengan anaknya, Raden tetap berpaling dariku? 

Hampir satu jam aku mengikuti Raniya dan Papanya berkeliling, aku tetap tak mendapat kesempatan berbicara dengan Raden. Semua mata mengawasi kami. Aku hanya penasaran dengan responnya, karena sepanjang perjalanan dari satu wahana ke wahana lain, Raniya memintaku dan Tama menggandengnya. Kami menurutinya dengan menggenggam di tangan kanan kiri Raniya, bagai keluarga kecil bahagia sedang menyenangkan anaknya.

“Udah pernah ke sini?” Satu pertanyaan meluncur dari mulut Tama, saat menunggu Raniya dengan pria yang membuatnya kesemsem, Raden, berdua saja menaiki komidi putar. Pertanyaan kedua setelah pertanyaan pertamanya di helikopter tadi, soal menjadi Mama Raniya, tak kujawab.

“Pernah. Beberapa kali saat kecil.”

“Raniya udah bisa sholat?”

Aku menoleh ketika tiba-tiba ia memelintir jauh pertanyaannya. Aku menggeleng. Hari setelah sore itu, bukannya Raniya mendiamkanku sampai tadi pagi?

“Cuma kamu ... satu dari tiga orang ... di rumah itu.”

Dahiku makin mengernyit. Maksudnya?

“... yang rajin ibadah. Kenapa?”

Aku mengedikkan bahu. “Kewajiban agama saya.”

“Kalian pacaran?”

Benar-benar satu orang ini. Pertanyaannya meloncat-loncat. Mirip kuda yang dinaiki Raniya yang naik turun tak jelas. Tama mengarahkan dagunya ke Raden. “Kalian di kamar bareng. Kalian rajin sholat. Dia bela kamu saat kejadian mukena kemarin. Dan kamu ... “ Tama tertawa hambar. 

"Harus saya jawab? Semua penjaga sedang memasang telinga mereka."

"Terserah ka-"

“Raniyaa! Hati-hati turunnya!” teriakku. Aku hampir berlari ke depan, saat dari jauh melihat Raniya melompat ketika wahana belum berhenti penuh, yang beruntungnya langsung ditangkap Raden. Sekaligus, menjauh dari Tama, yang hampir mengusik kejujuranku.

Aku mematung saat Tama menyusul, lalu menekan tombol off sambungan komunikasi kami satu-satunya. Lantas, fakta yang Tama bisikkan kemudian, berhasil mencabik hatiku. 

Sulit Akur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang