35. Martapura

8.1K 600 123
                                    

"Mamaa. Aku mau makan es seperti Laras."

Manikku mengedar dari bangku teras. Mencari teman panti asuhan yang ia sebut namanya barusan. Tak kunjung menemukan di kerumunan 100 anak, gadis itu menunjuk sendiri dengan jari telunjuk.

"Itu."

Di atas ayunan bawah pohon, anak perempuan seusia Raniya berambut ikal sedang cemang-cemong menjilati es potong warna kuning pucat. Dress model bawahan flow pemberian Raniya, amat pas di badannya. Ia tergelak mengamati beberapa saudara sepanti yang sedang bermain gundu di halaman.

Mereka adalah 100 saudara baru Raniya, sejak pertama kali anak semata wayang Wiyatama itu memberi sumbangan satu container boneka baru. Berikut kumpulan mainan di rumah yang terlalu memenuhi kamar bermain.

"Nanti Mama bilang sama chef buat bikin es potong untuk Rani, mau?"

"Rani bosan. Rani mau beli aja."

Aku menuntun gadis kecilku keluar pagar panti. Mencari Abang penjual es. Ternyata, ia masih mangkal di poskamling ujung jalan.

"Abang!!! Beliiii!!!" teriaknya mendahuluiku.

Jadilah, kami bertiga bersama Mona, duduk di bawah pohon menikmati es krim potong rasa duren. Laras memberikan singgasananya untuk Raniya singgahi. Sedangkan aku, Mona dan Laras duduk di bangku besi taman yang mulai usang tergerus karat di kaki-kakinya. Tak lupa, Raniya juga menraktir seluruh anak tak berorang tua dan memborong stok si Abang Es.

"Enak. Besok kita beli lagi ya, Ras?"

Ekspresi ceria itu akan selalu kuingat jika kelak takkan lagi bisa memandang si kecil ini. Aku bersyukur Allah menyiapkan satu teman di tengah kesepian tak bisa berkumpul dengan orang-orang yang kusayang.

"Iya. Aku suka banget. Duren kan mahal. Tapi kalau beli es potong duren, murah," jawab Laras. Kubersihkan cemong di tepi mulut Raniya dan Laras secara bergantian.

"Memang duren harganya berapa, Ma?"

"Kalau dibandingkan buah lain memang lebih mahal. Sama musiman. Kalau nggak musim, mahal."

"Sekarang waktunya musim nggak?"

"Kayaknya nggak deh."

"Tapi ada kan?"

"Ada sih ada."

"Besok Rani mau beli banyaak!"

"Jangan banyak-banyak. Nanti bisa sakit perut," tegurku mendorong ayunan setelah es potong di tanganku tandas.

"Untuk panti, Ma. Bukan Rani aja."

Aku tak bisa untuk tak mengukir senyum. Kuhentikan laju ayunan dan memeluknya dari belakang.

"Anak cantik sholehah. Anak siapa sih?"

"Anak Mama."

"Pintar ... "

Kuusap kepalanya. Tawa pingkal cantik berlesung lepas dari bibir cemong Raniya.

"Rani mau ambil lagi di dalam. Mama mau?"

"Mau."

Raniya berlari riang sembari tangan kanan masih menggenggam sisa es krim yang tinggal sedikit. Mengayunkan kaki satu berganti satunya. Baru sampai menyentuh undakan pertama teras, tiba-tiba anak kesayanganku jatuh terpelanting ke depan. Darah mengucur dari punggungnya.

Sulit Akur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang