12. Penghapus Anak Sekolah

3.8K 696 30
                                    

"Kamu bisa jujur sekarang." Ia mengukungku menempel tembok, dengan kedua tangan. Sempat kuhalau dengan tendangan ke perutnya, namun berhasil ia cegah. "Kamu kerja buat siapa? Apa misi kamu? Kamu ... mata-mata, AMINA ARSHILA? DAMN!!"  Raden ... ah sial! Arya! Ia menghantam dinding belakang sekolah dengan buku-buku jarinya. Aku menunduk. Harusnya aku berani. Namun, entah mengapa aku gentar menatap pasang mata geramnya. Dia marah sekali. 

Arya menyeretku tepat ke pojok gedung, kala Raniya sedang belajar di kelas. Sesaat setelah bel masuk berbunyi, ia memanfaatkan waktu untuk menginterogasiku. Mata Arya sudah mengedar kemana-mana saat membawaku ke sini. Kami berada tepat di titik buta kamera pengawas, pun tak ada orang yang lalu lalang di sekitar kami. 

"Ayah Bunda tahu?"

Aku menggeleng. 

"Bima?"

Aku mengangguk. Satu hantaman lagi, tepat di dinding sebelah telingaku. Hingga aku berjenggit. Kurasa, ia tidak sedang main-main. Aku menoleh pada lengannya yang masih menempel tembok, di sisi kiri wajahku. Sudut buku-buku jarinya, darah mulai mengalir dari sana. 

"Berdarah, Bang," ucapku lirih memberinya informasi. Kurasa, ia juga sedang tak ingin kusentuh. "Di mobil ada kassa. Abang ke mobil, aku jaga Raniya!"

Aku sudah menunjukkan gesture mengangkat kaki akan pergi, tapi kedua lengannya bergeming tak bergerak seinchipun. Tanda, bahwa percakapan kami memang belum berakhir. 

Arya terdiam. Lama ia berpikir. Tak menggubris kalimatku sama sekali. Matanya menyorot ke bawah. Apa aku terlalu menjijikkan untuk ditatapnya? 

"Jangan panggil 'Bang' lagi!"

"Oke," jawabku cepat. Memang itu membahayakan bukan? Dia menaikkan tatapannya penuh tanya, tepat ketika aku menutup mulut, usai menanggapi. 

"Apa menurutmu pernikahan kita kemarin juga pura-pura?"

Aku menggeleng. Pernikahan kami benar adanya. Dia mengucap ijab kabul dengan menyebut nama asliku bukan? Pada ayahku, dan disaksikan oleh saksi yang keluarga kami kenal baik. 

"Aku kayak ngerasa udah diboongin semuanya. Padahal ... "

Aku menggeleng cepat. "Aku cuma boong soal ini. Yang lain, aku Ami. Beneran Ami."

"Apa misi kamu? Siapa dalang semua ini?"

Aku bungkam. 

"JUJUR! JUJUR SAMA SUAMI KAMU!" Ia menggoyangkan bahuku kasar. 

Aku menggeleng. "Kamu gak mau lagi aku lindungin, HAH?!"

"Ami nggak bisa bilang soal itu. Tapi Ami janji, ini yang terakhir," mohonku. 

"TERAKHIR? Maksud kamu? Aku sama sekali gak pernah kepikiran ini bakal terjadi. Gak pernah ngira kalo kamu ... Kamu pembohong, Ami!"

"Ami nggak bohong. Udah Ami bilang, Ami boong cuma ini aja!!"

Arya meraup mukanya frustasi. Ia mencengkeram daguku. Menaikkannya, mendekatkan ke wajahnya. 

"Ayo buktikan!"

Cengkeramannya mengerat. Arya ingin mengulang apa yang terakhir kami lakukan. Tapi tidak. Ini berbeda. Ia kasar. Arya yang biasanya lembut, tak terlihat di depanku. Aku berontak. Berusaha melepas tangannya. Berat. Sakit sekali dia mengunci daguku. Dengan segenap kekuatan, kumundurkan kepala, lantas secepat kilat, kubenturkan batok kepalaku ke keningnya. Keras! Hingga dia tersentak mundur.

"AMII!!"

"Amna!! Gue Amna sekarang! Dan jangan berani-beraninya kasar sama gue!"

Dia tertawa getir, masih dengan mengusap keningnya. Jujur, keningku juga sakit sekali. Tapi kutahan. Ini sering kulakukan dulu. Jadi, aku sudah terbiasa. 

Sulit Akur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang