23. Rest Room

2.5K 545 12
                                    

Mama: Rani bosan nggak?
Raniya: Bosan banget.
Mama: Temani Mama ke rest room mau?

Rani mengerjap bahagia lewat mata cantik innocent-nya, membalas pesan singkat yang kukirimkan ke ponsel di clutch mini anak itu. Ia mengangguk samar. Si penyuka Elsa ini terbiasa hidup berdampingan dengan berbagai kode mimik, kode nasehat, juga kode larangan dari Tama. Sangat mengerti berbagai ekspresi yang ditunjukkan orang-orang padanya, tanpa orang tersebut perlu bicara.

"Shenny, saya mau ke kamar kecil sama Rani."

"Minta temani!" sambar Tama di seberang.

Siapa lagi yang bisa seenaknya bicara kecuali bos kami? Termasuk, seenaknya menyala matikan sambungan komunikasi. Padahal aku sudah bersiap mendengar apa yang Tama bicarakan bersama para klien. Mukjizat yang akan terjadi jika Tama bodoh. Sayangnya, orang tua Raniya ini pintar. Tama menatap kami dari tempat ia berdiri di sana.

"Nggak perlu. Saya bisa. Hanya 15 menit."

Aku menggenggam jemari kecil Raniya, berjalan cepat ke resort rest room yang letaknya cukup jauh dari bibir pantai, tempat pesta dihelat. Kamar kecil yang dibangun di sayap kanan belakang resort. Berbeda dari area acara, pencahayaan resort tidak dipadamkan. Kuakui, penataan lighting resort ini sungguh keren. Menggunakan lampu sorot kecil-kecil di beberapa sudut dan taman. Tidak memberi kesan gelap. Justru hangat.

Saat akan berbalik menutup pintu kamar kecil, ternyata Reno dan Panjul telah berdiri tegap di ujung teras resort yang berjarak 6 meter dari tempatku berdiri. Shenny dan Mona menyusul ke arah kami. Hah!! Aku sulit kabur jika begini. Tiba-tiba saja, ingin meralat kegalauanku tadi. Aku tak akan tersanjung pada nomor prioritas Tama, yang nyatanya merepotkan begini.

Raniya benar memanfaatkan izin kami untuk buang air kecil, selagi aku sibuk memindahkan pistol ke holster yang terikat di betis. Penjagaan pesta cukup ketat. Kami yang merupakan anggota keluarga VVIP, pun harus turut mengantri pemeriksaan deteksi metal di badan dan X-ray. Hampir saja pisauku ketahuan jika tak buru-buru kupindahkan selagi di lobi hotel tadi.

Aku penasaran. Sebenarnya, transaksi penting macam apa yang tak boleh kulewatkan malam ini, sampai-sampai penjaga bersenjata berdiri di tiap titik penting.

---

"Rani mau Papa cepat pulang?" tanyaku saat kami sama-sama masih berada dalam bilik kamar kecil dan meninggalkan alat komunikasi di tas.

"Ayo Ma. Rani ngantuk."

"Oke. Kita susul Papa ya?"

Aku melancarkan rencana kedua. Mendekati lingkaran pertama target secara terang-terangan dengan memanfaatkan sang anak. Dosaku makin menumpuk pada Raniya. Aku akan berusaha sebisa mungkin menebus ini. Salah satunya, dengan cara mengajari Raniya hal-hal baik. Menolongnya dari kehidupan masa depan Wiyatama yang sarat bahaya.

"Maaf, Ibu. Tapi Ibu sama Rani terlarang ke lingkar satu."

Jawaban menyebalkan dari Shenny.

"Antarin kami ke mobil. Rani mau tidur. Kami tunggu Bapak di mobil aja."

Aku melirik dari sini. Tama masih sibuk tersenyum pada lawan bicara. Hingga satu waktu, aku melihat pria bersetelan mahal serba hitam itu menampakkan gesture membuang muka dan menutup mulut, lantas kami mendengar ia mengucap, "antarkan!"

Bang Roni tengah menunggu santai di parkir VVIP. Puntung rokok yang diapit kedua jari, sudah hampir pendek. Ia membuang dan menginjak seketika melihat kami keluar lobi.

"Astaga!! Clutch gue, Mon!" keluhku menepuk kening. Menyalahkan isi kepala yang mudah sekali melupa. Semoga pura-puraku berhasil. Bang Roni menyeringai tipis. "Aku balik dulu bentar. Tolong jaga Rani."

Sulit Akur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang