21. Percakapan Dua Manusia

2.4K 444 17
                                    

Hampir kucoba sekali lagi, meski Tama pasti akan mencerca habis-habisan nanti malam. Hanya sekadar ingin mengintip isi dalam ruangan gudang dengan dinding dari tatanan bata merah, tanpa dipermanis menggunakan semen pun cat. Kucoba di saat orang lengah dengan penjagaan Raniya yang sedang kedatangan guru les.

"Ibu ngapain?"

Aku terlonjak kaget. Kutoleh kepala perlahan. Semoga saja suara yang kudengar benar dengan yang kupikir. Raden berdiri di sana dengan pistol mengarah ke pelipisku.

"Eng...nggak. Cuma mau keliling aja."

"Area Ibu sekarang dipersempit oleh Bapak. Tidak boleh melebihi jalan setapak rumput halaman belakang," ucap rekan Raden, yang sejurus mengacungkan senjatanya padaku. Kupikir ulang sekali lagi. Apa ini salah satu taktik Raden minta diturunkan posisi menjadi penjaga? Agar bisa lebih dekat dengan gudang senjata? Aku terbahak dalam hati. Jangan-jangan ia punya misi yang sama denganku.

"Lo duluan. Gue bicara sebentar sama Ibu," pinta Raden pada rekannya, yang dibalas anggukan.

Raden memastikan punggung sang rekan benar-benar menghilang. Lantas, ia menarik lenganku ke satu sudut tepat di titik buta kamera rumah ini. Ada 120 kamera pengawas di sini, dan telah kuhafal di luar kepala satu per satu dimana tempat paling tepat agar terlepas dari 3 pasang netra pengamat di ruang kontrol pengawas.

"Jangan tarik-tarik!"

Ia melepas cekalannya.

"Kaki kamu? Kemarin ..."

"Gue udah baikan."

"Teknik yoko geri kamu masih belum sempurna. Jangan dipaksain."

"Nggak ada urusannya sama lo."

Raden menarik jemari kecilku lagi. Aku yang tak siap, limbung ke badannya. Dua tangan kokoh itu menangkap sigap.

"Perut kamu nggak apa-apa kan? Mona nonjoknya keras. Ada–"

"Nanti kita ketahuan, Raden!" potongku. Aku hampir memekik jika tangannya tak menutup mulutku.

"Jangan kasar-kasar. Aku masih suamimu. Dan orang serumah ini tahu, misi Raden kedua adalah merebut sang pujaan hati dari tangan Wiyatama. Tunggu aja!"

Aku tersadar. Kudorong dadanya keras. Berhasil. Namun, yang kuterima sebagai balasan justru sebuah tertawaan.

"Jangan kepedean. Kerjain aja apa 'tugas' lo. Nggak perlu nambah kerjaan, kalo segitu aja lo nggak beres-beres." Tantangku.

Aku membuang pandanganku ke arah kolam. Memandangnya yang menatapku intens membuatku kehilangan akal lagi. Raden mendekat. Ia mengecup keningku seraya mengucap, "Aku nggak dapat jatah ikut ke Lombok. Kalian jaga diri ya? Kalau ada apa-apa, ada Bang Roni. Aku percaya sama kamu, Amna Arisa."

----

Aku, Raniya dan Tama turun dari pesawat khusus yang Tama sewa untuk perjalanan kali ini. Ia tak mau mengambil resiko sekali lagi, mengingat Sandra telah mulai mengurus pernikahan kami terhitung sejak kemarin. Acara ke Lombok sempat tertunda 1 minggu. Menurut info yang kudapat, pihak tuan rumah belum terlalu matang mempersiapkan penyambutan Tama.

"Kalian ke hotel. Papa, Sandra juga beberapa orang langsung ke proyek."

Kami menurut. Untuk perjalanan kali ini aku nggak perlu mengekor Tama. Ada Alex bergabung bersama penjaga Tama lainnya di sana. Lagipula, yang kudengar dari obrolan Sandra bersama Tama hanya seputar proyek resort baru dimana mereka menawarkan kesempatan agar Tama ikut andil.

Sampai di hotel, kami segera mengurus diri. Menyiapkan baju untuk bermain ke pantai. Raniya tak sabar lagi ingin berjalan telanjang kaki di pantai berpasir putih.

Sulit Akur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang