Semenjak berada di mobil ambulans, pasang manik Raden yang duduk di sampingku selama 3 jam perjalanan itu, terus-menerus menyorot tajam ke arah sini. Seolah sedang melampiaskan amarahnya dalam diam. Melemparkan satu demi satu bom murka dalam keheningan. Selama itu pula, aku membalas tatapannya. Tak ada orang lain, selain sopir dan seorang perawat yang duduk di depan, yang terpisah oleh kaca pembatas dengan kami. Di belakang ambulans ini, sudah pasti, bodyguard Tama mengikuti jejak kami dengan masing-masing mobilnya.
"Jadi, siapa pelakunya?" tanyaku memecah kesunyian, kecuali suara sirine ambulans juga deru mesin yang sejak tadi menjadi fokus rungu kami. Jujur, aku tak bisa memejamkan mata, jika ia tatap seperti itu. Jantungku berdetak tak karuan hebatnya. Aku kesal padanya. Namun di sisi lain, aku juga ingin bergantung lagi dengan Raden. Pun ingin ia berubah menjadi Arya seperti beberapa bulan lalu. Dan aku? Menjadi Ami yang begitu bebas mengumbar gelak tawa bersamanya.
"Masih diselidiki Bos Tama."
"Siapa targetnya sebenarnya?"
"Belum jelas. Kemarin mereka menembak acak. Mungkin ... cuma ngegertak."
Raden memalingkan pandangan ke kakiku. "Tapi lo harus hati-hati. Karena lo ada di circle pertama Raniya."
Aku mengangguk. Aku pasti akan selamat. Aku masih ingin memperbaiki kehidupan nyataku setelah ini. Aku belum meminta maaf dengan Ayah dan Bunda, meski harus bersiap dengan apapun respon beliau berdua padaku. Belum selesai membayangkan seperti apa masa depanku, tangan dingin Raden tiba-tiba meraih jemariku. Aku melihat ke depan seraya berusaha berontak melepaskan diri. Takut kalau-kalau dipergoki orang suruhan Tama. Namun, ia mengunci erat di sana, seolah tak ingin tautan itu terlepas. Kupelototi pasang mata hitam legam itu, penuh protes. Yang terjadi adalah ia justru memohon melalui tatapan teduhnya. Pun usapan lembut di tautan tangan kami.
"Dan lo juga harus panjang umur. Lo harus minta maaf dan makasih sama gue, karena kemarin gue yang nolong lo. Gue tunggu balas jasa dari lo," ucapnya masih dengan logat penyamaran kami, yang tenggelam dalam senyum tulus Raden. Ia ... astaga, ia mendekatkan tanganku padanya, lantas mengecupnya tepat di sana. Di punggung tangan.
Oh, Allah! Rasanya aku ingin meledak mendapat perlakuan manis seperti ini darinya. Sedemikian rapuhnya kah hati perempuan ini? Apa maksud Raden dengan tindakan impulsifnya ini? Nada yang keluar, lebih mirip disebut sebagai gurauan. Namun raut ekspresinya, penuh keseriusan yang seketika mengalir lancar merasuk ke sanubariku. Raden meminta balas jasa? Apa ini artinya, ia menginginkanku membalas jasa padanya di seumur sisa hidupku? Hidup kami?
---------
"Bu Amna ... Ya Allah ... Bibi jantungnya udah mau lepas denger Bu Amna ditembak ... !" Bi Sumi tergopoh-gopoh menyambutku, masih dengan mengenakan apronnya. Ia menangis lega.
"Bu? Bi, ini Amna. Mbak Amnanya Raniya."
Bi Sumi tersenyum lebar, lantas mendekat.
"Bapak sekarang suruh semua orang di rumah ini panggil Mbak Amna 'Ibu'. Karena Ibu udah selamatin nyawa Non Rani. Dan sekarang, saya yang bantu Ibu pemulihan. Rani ada Mbak Shenny untuk sementara."
Aku membelalak. Kuberi pandangan sarat tanya pada Raden, yang masih berjalan mengiringi kursi rodaku menuju lift. Hanya dengan satu peluru bersarang di kaki, ternyata mampu mengubah banyak hal di rumah ini.
"Bu Amna udah sembuh?"
Aku mengangguk. Terimakasih pada obat antinyeri yang rutin perawat suntikan di infusku."Raniya mana?"
"Masih ada kelas bahasa Spanyol. Nanti juga nyusul. Dari tadi udah nanyain Bu Amna terus. Sampai Bapak kewalahan."
Bi Sumi bercerita tentang rewelnya Raniya selama sehari aku tak ada di sisinya. Hatiku terenyuh. Ia benar kehausan seorang teman. Kenyang dengan kesepian di rumah dengan beratus orang di dalamnya, namun lebih banyak mirip bagai boneka hidup, dibandingkan manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sulit Akur (COMPLETED)
RomantizmAmna dan Raden. Nama samaran dari dua orang mata-mata, yang berasal dari dua agensi berbeda, namun mempunyai misi yang sama. Menaklukan gembong mafia, dan mengungkap semua bisnis terselubungnya. Bagai kucing dan anjing, mereka tak pernah akur. Salin...