27. Perban Lengan

2.4K 555 45
                                    

"Ami, Ami, sini. Ayah bawain barbie cantik dari Osaka. Pakai kimono. Cantik banget. Seperti Ami."

"Yeayyy! Ayah pulaangg! Itu apa, Yah?"

Ayah mengernyit. Alih-alih menerima boneka cantik berkimono merah, telunjuk anak 10 tahun itu justru menunjuk pada kotak panjang berisi samurai yang dibawakan sopir Ayah di belakang.

"Ini hadiah dari senior Ayah. Tapi benda tajam. Untuk melawan orang jahat."

"Ami mau melawan orang jahat."

"Nanti latihan sama Ayah, pakai yang bohongan ya? Ayah belikan kalau Ami mau."

Bunda menepuk kencang bahu Ayah, yang bahkan belum sempat melepas kaos kakinya. Lelah masih menggelayut pada pria usia 37 tahun usai melakukan perjalanan jauh, memenuhi surat tugas dari kepolisian.

"Jangan, Yah. Nanti Ami jadi tomboi!"

"Tomboi tapi yang penting baik, cantik, anak Ayah, dan tetap sholehah ya, Ami? Nggak apa-apa."

Bunda merengut. Kurva bibir Bunda turun 180 derajat. Si anak terbahak. Diikuti Ayah yang seketika meletakkan si boneka berkimono dan menggendong mantap gadis kecilnya ke udara. Menghujani setiap titik di wajah dengan kecup hangat seorang Ayah untuk anak satu-satunya.

Keesokan harinya, Ayah keluar dari mobil membawa satu set mainan samurai dan pisau berbagai ukuran.

"Ami, ini yang asli adalah benda tajam. Kalau kamu nggak hati-hati, terkena goresannya, maka kamu akan berdarah. Nyawa orang pun bisa melayang. Semua ini bukan untuk menyakiti, menghukum atau menghilangkan nyawa orang, Ami sayang. Nanti kamu dosa, Nak. Masuk neraka yang isinya hanya api. Pakai teknik yang Ayah ajarkan, untuk menolong orang. Terpaksanya, ya hanya untuk melindungi diri sendiri dari orang jahat. Paham, Ami?"

Si anak mengangguk mantap. Ia paham betul apa yang Ayahnya nasehatkan. Tangan besar nan kokoh Ayah menengadah. Menunggu gadis kecil meraih uluran tangan itu. Membawanya ke halaman belakang untuk segera berlatih.

"Ami mau jadi polisi seperti Ayah?"

Gadis kecil tertawa girang. Kaki-kaki kecilnya melompat-lompat. "Mau mauuuu!"

"Nanti jadi tim Ayah ya? Kita menolong banyak orang!"

Ami kecil menerjang badan tegap Hamdan Ramli dengan penuh binar di mata. Alih-alih mengucap memberantas kejahatan, Ayah lebih memilih kalimat menolong banyak orang.

"Ayah sayaaaanggg sekaliiii sama Amiii!!"

------

"Ayahhhhh!!!"

"Ibu?!" Bi Sumi menepuk-nepuk bahuku memanggil kesadaran. "Ibu kenapa? Ya Allah, Pak Dokter!" teriaknya sebelum menghilang di balik pintu. Aku menghela nafas. Amat panjang. Ternyata, semua hanya mimpi. Ayah masih hidup. Kejadian di mimpiku harusnya tak pernah terjadi.

Mataku mengedar. Aku kembali terbaring di sini. Dinding serba putih ini. Cahaya di luar sungguh menyilaukan. Aku tidak suka. Di ujung ranjang, ada Raya memijat kedua tungkaiku. "Saya kenapa, Raya?"

"Bapak waktu bawa pulang, Ibu sudah pingsan. Bapak panggil banyak dokter untuk mengobati Ibu."

Aku menggangguk ragu. Belum sepenuhnya mengingat, di adegan terakhir mana, aku kehilangan kesadaran. Tanpa dosa, aku terdiam sejenak. Pikiranku kosong. Mengamati apa yang terjadi pada tubuhku.

Punggung tangan kiri tertusuk jarum infus. Badan serasa remuk redam. Perut juga kram bukan main. Lengan atasku terbalut kassa panjang. Aku berusaha melepas plester yang merekatkan pada kulit sehat di sekitar.

"Ini kena–"

"Jangaannn, Bu!!" Raya memperingatkan namun terlambat. Aku terlanjur melepas balutan luka itu. Luka gores yang telah dijahit rapi dari ujung ke ujung. Luka sepanjang ...

Hati mulai tak enak.

"Ini ... ?" tanyaku ragu.

"Ada yang jahat sama Ibu di kampanye Bapak. Pak Kanis, pasangan kampanye Bapak meninggal, tertembak. Ibu diselamatkan sama Bapak polisi senior. Beliau-"

"Juga meninggal." Potongku, menyelesaikan rangkaian kata-kata Raya.

Sebulir air jatuh di atas telapak tangan. Disusul deraian yang kemudian menganaksungai. Tenggorokanku tercekat, menangisi jika ternyata apa yang kumimpikan barusan adalah kenyataan. Aku meringkuk. Menangis hebat dalam kepala yang kutenggelamkan di sana. Menghabiskan kesedihan yang kemungkinan tak akan bisa Ami ratapi lagi setelah ini. Karena setelahnya, aku harus menjadi Amna kembali.

Masih menangis, dokter kebanggaan Tama mengetuk pintu. Diikuti perawat lain dan Bi Sumi. Mereka tertegun menemukanku yang begini. Dalam diam, Dokter Parama membalut luka dan mengecek ulang kondisi.

"Trauma karena kejadian yang Ibu alami ini, sering terjadi. Yang terpenting sekarang adalah Ibu istirahat, banyak-banyak berdoa." Dokter Parama beralih pandang pada Bi Sumi. "Dan harus ada yang temani, ya, Bi?"

"Baik, Dokter."

----

"Raya, bisa tutup tirainya? Saya mau yang agak redup. Saya nggak suka terang."

Perawat muda itu bangkit melaksanakan perintahku.

"Saya pingsan berapa lama?"

"Satu hari, Bu," jawabnya seperti ketakutan. Mata Raya tak pernah berani menerima tatapanku. Terus membuang pandangan.

"Kamu kenapa? Takut sama saya? Ada yang salah?"

Raya menggeleng. Bi Sumi kembali masuk usai mengantarkan dokter keluar. Kulit keriput itu sontak memeluk aku yang masih tenggelam dalam kesedihan. "Ibu harus sabar. Semua pasti bisa Ibu lupakan pelan-pelan."

Bagaimana aku bisa melupakan pelan-pelan? Bahkan detik dimana Bima dan Ayah meninggalkan dunia ini, aku masih ingat betul setiap babak yang kami lalui.

"Nanti Allah ganti dengan yang lebih baik," bisik Bi Sumi di punggungku. Tak ada yang lebih baik dari Ayah Hamdan Ramli. "Adik Raniya. InsyaAllah Ibu akan dapat ganti dari Allah," lanjutnya.

Jantungku hampir mencelos. Maksudnya?

Aku menitikkan bulir itu sekali lagi, meski belum bisa menebak apa yang terjadi. Kuraba perut yang masih sama datar. Kuusap lembut di sana. Tangisku pecah kembali. Raya mengetik sesuatu di note ponselnya.

Saya sama Bi Sumi menemukan testpack di closet hotel. Ibu pasti lupa menekan flush-nya. Kemarin waktu Ibu pingsan, darah mengalir dari sana juga. Raya bilang ke Dokter kalau Ibu sedang haid. Ibu keguguran.

Lupa? Aku tidak lupa. Aku benar telah menekan tombol itu. Tapi apa gunanya kupikirkan? Aku kepalang ketahuan. Kini yang bisa kulakukan, hanya merasakan sedalam-dalamnya, satu per satu sayatan luka yang menggores sisi hati dimana-mana. Sakitnya tak terkira. Ini lebih sakit dari waktu itu. Saat dimana Bima menutup mata terakhir kalinya. Nyeri ini terasa berlipat-lipat ganda.

"Bapak tahu?" tanyaku menggunakan mimik bibir yang masih tersedu sedan. Raya dan Bi Sumi kompak menggeleng. "Terimakasih," balasku menutup pembicaraan ini. Mereka kembali menghambur. Memeluk aku yang sendirian ditinggal dua nyawa dalam satu waktu.

----

Aku tak melihat pria itu sejak sebelum berangkat ke Dago. Tugasnya tak lagi memungkinkan kami untuk saling bertemu, kecuali aku yang nekat berkeliling ke area belakang rumah tempat Arya berpatroli.

Aku ingin Arya sekarang.

Aku ingin ia datang.

Apa ia tahu aku sedang sakit?

Apa ia sama menangisnya seperti aku yang kehilangan Ayah?

Apa ia harus kuberi tahu jika masa depan kami juga berbarengan sirna bersama Ayah?

Lalu, aku ingin bertanya pada Arya. Apakah kami masih punya masa depan?

Terutama, untukku. Yang membahayakan orang tua sendiri dan menghilangkan nyawa beliau. Aku memang tak termaafkan. Aku membunuh beliau ... dan mungkin, bisa jadi, Arya sasaran selanjutnya si Amna Arisa yang menyedihkan ini.

-------


Sulit Akur (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang