Bab 30

476 19 2
                                    

Setelah keluar dari ruangan Wily, Lisa segera mencari keberadaan Mira. Dia tidak ingin adanya kesalah pahaman. Apalagi Mira sudah berbuat baik pada Lisa sejak ia pertama masuk bekerja di tempat ini.

Lisa langsung menjelaskan semuanya kepada Mira, sama halnya yang ia jelaskan pada Wily tadi di ruanganya. Tidaklah mungkin kalau ia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

"Oh jadi itu seperti itu," Mira manggut-manggut setelah mendengar penjelasan dari Lisa. "Tuan Wily memang baik Lisa," Mira tersenyum dan memegang bahu Lisa. "Lain kali jangan kecewakan dia lagi." Imbuhnya lagi.

Lisa mengangguk seraya mengerti. "Iya Mir, aku janji lain kali kalau ada kepentingan yang mendesak lagi aku akan usahakan untuk meminta izin pada kalian." Ucap Lisa dengan mantap. "Ya meskipun aku tidak mempunyai ponsel untuk menghubungi kalian," lirih Lisa. "Tapi aku akan usahakan," ucap Lisa kembali lantang.

"Kamu yang sabar ya Lisa," Mira sambil tersenyum. "Ponsel tidaklah terlalu penting, yang terpenting skripsi kamu agar cepat selesai. Kalau ponsel kamu bisa membelinya dengan menabung setiap bulan."

"Terimakasih Mira, kamu memang baik." Lisa tiba-tiba murung. "Tidak seperti pelayan-pelayan lainnya," lirih Lisa.

Mira langsung tanggap. "Tidak perlu urusi mereka, biarkan saja anjing-anjing itu mengonggong." Sambil tersenyum. "Sekarang kembalilah bekerja, aku juga kan menyelesaikan beberapa laporanku." Lisa mengangguk dan berlalu dari ruangan Mira.

Meskipun seharian ini tidak ada yang berteman atau sekedar mengobrol dengan Lisa selain Mira. Ia tetap semangat dan bisa menyelesaikan tujuh jam kerjanya. Setidaknya ia sekarang pulang sebelum suaminya pulang.

Keringat membasahi wajah Lisa, meskipun begitu dia tidak memperlihatkan keletihannya. Setibanya di mansion ia segera membersihkan diri dan menyiapkan air untuk suaminya mandi karena jam sudah menunjukkan hampir pukul lima sore.

Dari balkon kamarnya terlihat tiga mobil masuk ke mansion tersebut, mobil yang ditumpangi Ken dan para pengawalnya. Lisa segera menuruni anak tangga dan menyambut Ken di depan. Mencium punggung tangan Ken dan membawakan tas kerjanya, serta mengantarkan Ken ke kamar.

Jangan heran kenapa Ken selalu berpergian dengan tiga mobil, karena dia akan lebih merasa aman jika membawa paling tidak enam sampai delapan pengawal setiap berpergian dan itupun belum termasuk pengawal-pengawal bayangan. Kedudukkannya membuat dirinya harus terus waspada karena banyak bahaya dari musuh yang mengancam.

"Silahkan Tuan, Nyonya." Paman Li membukkan pintu kamar untuk Ken dari Lisa. Ken hanya bersikap acuh, sementara Lisa mengangguk tersenyum dan tak lupa mengucapkan terimakasih pada paman Li. Setelah kedua majikannya benar-benar masuk, paman Li segera turun ke lantai dasar mengkoordinir para koki untuk menyiapkan makan malam.

"T.. Tuan.." Tegur Lisa pada Ken. "Hm." Sekilas jawaban dari Ken. Jawaban tersebut hanya bisa membuat Lisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal tersebut.

"Kenapa ?" Tanya Ken yang menyadari raut wajah Lisa kebingungan. "Mau minta uang ?" Berjalan mendekati ranjang, kemudian duduk di tepian ranjang menatap Lisa yang masih mematung di depan pintu. "Ambillah !" Ken memberi sebuah kartu kredit untuk Lisa dari dalam dompetnya.

"Sebenarnya yang bodoh aku atau dia ? Aku kan punya hutang dengannya, kenapa dia malah justru memberiku uang." Pikir Lisa sambil memandangi credit card yang di berikan oleh Ken.

Mendengus kesal. "Jangan banyak berpikir," ketus Ken. "Bagaimana pun juga aku mempunyai kewajiban untuk menafkahimu." Imbuhnya lagi. "Ambillah, sebelum aku berubah pikiran."

Lisa menggeleng. "Tidak perlu Tuan. Bagi saya Tuan memberi makan dan tempat tinggal saja sudah lebih dari cukup." Tolak Lisa.

Ken tersenyum getir. "Cih! Berapa gajinya sebulan sampai menolak pemberianku," pikirnya. "Terserah," ujar Ken yang kemudian berlalu ke kamar mandi.

"Dasar aneh," ucap Lisa.

Haha, sebenarnya bukan Ken yang aneh. Tapi kamu yang aneh Lisa. Bukankah seharusnya kamu bersyukur mendapat nafkah dari suamimu ?

Setelan piyama sudah disiapkan oleh Lisa dan diletakkan di atas ranjang. Ia beralih duduk di sofa sambil menyalakan TV. Hari ini sukup melelahkan baginya.

Setelah hampir tiga puluh menit, Ken keluar dengan handuk yang melilit di pinggang. Lisa sama sekali tidak berani menoleh, meskipun ia mendengar pintu yang terbuka. Matanya fokus menatap layar televisi meskipun hatinya gelisah.

"Bugh.."

Handuk yang dikenakan oleh Ken di lempar begitu saja tepat dihadapan Lisa, hingga seluruh wajahnya tertutup dengan handuk. Meskipun begitu Lisa tetap sabar mengambilnya dan hanya bergeming di tempat.

Kini Ken tak terbalut sehelai benang pun. "Kenapa ?" Tegur Ken yang sudah menyadari bulir-bulir keringat keluar dari dahi dan sela-sela anak rambutnya. Lisa hanya menggelengkan kepalanya. "Lalu kenapa tidak mau menatapku ?" Tanyanya lagi.

"T.. Tuan," gugup. "Sebaiknya Tuan pakai dulu pakiannya." Imbunya lagi. Ken hanya tergelak karena ucapan Lisa, dia terburu-buru memakai pakaiannya.

"Memang kenapa ?" Ken mendekati Lisa, sementara Lisa semakin menundukkan kepalanya. Dia pikir Ken belum memakai pakaiannya. "Kenapa malu ?" Lisa mengangguk. "Bukankah aku ini suamimu kenapa harus malu ?" Bisik Ken tepat di telinganya.

"Bugh."

Lagi-lagi Lisa mendorong Ken hingga terkapar di lantai. Saking gugup dan takutnya, dia memejamkan matanya sehingga tidak mengetahui Ken sudah mengenakan pakaiannya. "Aa, Tuan maafkan saya." Lisa segera beranjak membantu Ken untuk bangun, tapi Ken menepisnya.

"Brengsekk!" Umpat Ken dalam hatinya. "Sebenarnya apa maumu ?" Wajahnya mulai memerah. "Kau selalu mendorongku. Kau mau aku cepat mati ya !" Bentaknya kembali.

"Tuan," lirih Lisa. "Saya sungguh tidak sengaja. Saya pikir tadi Tuan b..." Ucapanya langsung dihentikan oleh Ken.

"Perempuan tidak tahu diri," Ken segera berlalu dari kamar dan membanting pintunya.

Lisa terduduk lemas di tepian ranjang. "Oh astaga," menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan miliknya. "Apa yang ku lakukan. Dia sampai semarah itu." Sesalnya.

Tak terasa buliran Kristal bening keluar dari kedua sudut matanya. Dua kali ia mendorong Ken hingga membuatnya semarah itu. Dia beranjak dari duduknya, berjalan mondar mandir memikirkan hal tersebut. "Aku harus bagaimana ini," pikirnya lagi. "Apa dia pergi ? Tapi kalau dia pergi kenapa tidak mengganti piyamanya."

"Dasar kau bodoh Lisa," umpatnya.

"Cokelat hangat," lirihnya. "Ya benar, cokelat hangat." Ucapnya lagi kembali meyakinkan.

Dia segera keluar dari kamar tersebut. Dua pria berpakaian serba hitam, bertubuh kekar dan perawakan tinggi berdiri di depan pintu. Begitu Lisa membuka pintu, kedua pria tersebut memberi hormat kepada Nyonya mudanya. "Selamat malam Nyonya Muda," sapa mereka.

Lisa nampak bingung akan kehadiran mereka. "Kenapa kalian di sini ?" Tanya Lisa menatap mereka sejenak.

"Kami pegawal yang setiap malam bertugas menjaga Tuan Muda dan Nyonya Muda di depan kamar ini."

"Apa-apaan sih dia," keluhnya. "Tapi kenapa kemarin tidak ada ? Apa kalian baru ?"

"Tidak Nyonya, kami sudah lama bekerja di sini. Hanya saja kemarin kami ada tugas lain."

Lisa hanya menepis tangannya. "Sudahlah tidak penting," acuhnya. "Cokelat hangat," ujarnya lagi. Ia segera menuruni anak tangga untuk berjalan ke dapur. Meskipun ada lift, dia memang enggan turun mengenakan lift kecuali jika berjalan bersama Ken.

Bersambung.

Cinta Berawal Dari TerpaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang