Bab 21

2.1K 55 0
                                    

 Setibanya di mansion. Zae masih tetap bersikap dingin kepada Lisa. Ia hanya berbicara seperlunya saja. Misalnya seperti menyuruh Lisa turun dari mobil. "Turunlah! Tuan Muda sudah menunggumu." Seperti itulah kata yang terucap dari mulut Zae, bahkan ia tak melirik Lisa sedikit pun.

Sementara Ken sudah berada di dalam mansion karena sengaja mendahului mobil Zae. Dia sudah bersiap dengan tuxedo hitamnya. Sorot mata hitamnya juga mencerminkan kebahagiaan.

Lisa sudah turun bersama Ken, disambut beberapa pelayan yang sudah siap mengantarkan Lisa ke kamarnya. Lisa hanya menurut saja, belum tahu apa rencana yang akan diperbuat oleh Zae.

Tahunya Lisa semua rencana Zae karena hanya Zae yang Lisa kenali. Sementara Ken, dia belum mengenalnya. Hanya pernah bertemu dua kali melalui tabrakan bibir.

Salah seorang pelayan wanita paruh baya mengantarkan Lisa ke kamar tamu. Dia segera membukakan pintu kamar Lisa. "Silahkan Nona Lisa," pelayan tersebut tersenyum pada Lisa. "Nona sementara bisa beristirahat di sini."

Lisa mengerutkan dahinya. Bagaimana bisa pelayan di rumah Ken mengetahui namanya. Sementara mereka saja belum pernah bertemu. Pikir Lisa.

"Non.." Tegur pelayan tersebut karena Lisa hanya diam.

Seketika itu juga Lisa terbangun dari lamunannya. "Iya bi." Senyum paksa. "Kok bibi tahu nama saya?" tanya Lisa yang sudah mulai penasaran.

Pelayan tersebut tersenyum. "Jangan bingung Non, karena sebentar lagi Nona akan menjadi Nyonya Wilson di sini." Lisa kembali mengerutkan dahinya. "Saya Narti, panggil saja bi Nar." Sambung bi Nar lagi.

Semua ucapan bi Nar seakan menjadi teka teki untu Lisa. Dia sama sekali tidak paham apa yang dimaksud oleh bi Nar. Terlebih lagi mengungkapkan bahwa dirinya akan segera menjadi nyonya Wilson.

Bi Nar membukakan pintu untuk Lisa, "silahkan Non!" Lisa mengangguk menurut saja dengan pengaturan tersebut. "Kalau begitu bibi permisi dulu ya, kalau ada apa-apa bisa panggil bibi dengan menekan tombol merah yang berada di atas nakas." Imbunya lagi.

Perasaan Lisa makin tidak karuan. Kamar mewah dan sangat besar itu terabaikan oleh pandangan matanya. Padahal ia sama sekali belum pernah masuk ke kamar yang sebesar itu. Sambil mengigit telunjuknya Lisa berjalan mondar mandir. Sesekali juga menoleh ke pintu kamarnya. Memikirkan apa yang harus ia perbuat sekarang, sementara di rumah ini tak satupun yang bisa ia tanyai. Semua pertanyaan Lisa baginya hanya dijawab dengan sebuah teka-teki.

Kakinya akhirnya melemah, ia duduk di tepian ranjang. Tak lama dan belum menikmati ranjang yang super nyaman dan empuk, Lisa sudah kedatangan tamu. Ketukan pintu kamarnya membuat kedua telinganya panas. Mau tak mau Lisa harus mempersilahkan orang yang mengetuk pintu tersebut.

"Masuk!" ucap Lisa. Saat itu juga pikirannya menjadi buyar, harusnya ia memikirkan bagaimana menyelesaikan masalah ini dan keluar dari rumah tersebut.

Tiga pelayan berseragam masuk ke kamar Lisa. Membawa sebuah gaun dan set alat make up. "Permisi Nona Lisa?" tegur para pelayan tersebut.

Lisa hanya mengangguk, sementara mereka semakin mendekat. Satu orang masuk ke kamar mandi, satu orangnya lagi menata set make up di atas meja rias sementara satu sisanya mendekati Lisa. "Apa Nona sudah siap?" tanya pelayan wanita yang mendekati Lisa.

"Siap?" tanya Lisa melonggo. Justru pertanyaan yang diajukan Lisa malah dianggap sebagai jawaban oleh para pelayan. Tak segan-segan mereka segera mengajak Lisa masuk ke kamar mandi. Lisa ikut saja dengan pengaturan mereka.

Bathup sudah berisi air penuh dengan busa yang melimpah. Para pelayan membantu Lisa melucuti seluruh pakaiannya dan masuk ke dalam bath up untuk berendam.

Lisa memang awalnya menolak karena ia merasa malu dan risih karena mandi harus dibantu oleh dua orang pelayan sekaligus. Tapi para pelayan terus membujuk dan akhirnya Lisa mau ikut dengan pengaturan.

"Harusnya tidak perlu membantu saya mandi. Saya sebelum kemari sudah mandi dan saya merasa kurang nyaman kalau mandi harus dibantu." Protes Lisa.

Mereka tetap melakukan tugasnya, memandikan Lisa. Menggosok punggung tangan dan kaki. "Kami hanya menjalankan tugas dari Tuan Muda Nona. Jika kami membantahnya pasti akan ada hukuman yang setimpal yang harus kami terima."

"Astaga, sebenarnya siapa yang dianggap mereka sebagai Tuan Muda itu. Apa benar dia adalah orang yang kejam sampai Zae juga ikut bersikap dingin kepadaku." Pikir Lisa.

Namun ia tidak ingin terus-terusan dihantui oleh penasaran. Akhirnya ia memberanikan diri menanyakan perihal kebenaran dari pikirannya tersebut. "Memangnya Tuan Muda itu seperti apa?" lirih Lisa. "Apa dia galak? Kejam atau..." ucapan Lisa belum sempat selesai namun sudah terpotong oleh salah satu pelayan tersebut.

"Maaf Nona," potong salah satu pelayan. "Kami tidak diperkenankan untuk membicarakan mengenai Tuan Muda, baik atau buruknya." Gosokan ditubuh Lisa makin dipercepat. "Lebih baik Nona ikut saja dengan pengaturan Tuan Muda dan jangan membantah."

"Maaf kalau kami lancang, tapi ini demi keselamatan bersama." Imbuh satu pelayan lainnya.

Jawaban dari kedua pelayan tersebut membuat Lisa membungkam. Dia hanya dia bersama pikiran-pikirannya yang tidak terjawabkan itu. Lama-lama ia juga bisa menikmati berendam di air hangat dan sedikit membuat pikirannya rileks sejenak sampai dia hampir lupa dengan teka – teki di rumah ini.

Usai membantu Lisa mandi, pelayan tersebut menyiapakan kimono handuk dan handuk kecil untuk membungkus rambut Lisa yang basah dan diletakkannya di samping bathup. "Handuknya saya taruh di sini Nona," pelayan sambil menunjukkanya kepada Lisa. "Kami akan menunggu Nona di meja rias." Imbuhnya lagi.

Pertama-tama Lisa duduk di meja rias dan satu pelayan mengeringkan rambutnya. Sementara yang satunya membereskan kamar mandi dan sisanya menyiapkan beberapa make up.

Mereka mulai memoles wajah Lisa dengan riasan tipis namun terlihat anggun dan mengenakan gaun panjang berwarna putih. Lisa sebenarnya merasa ada yang menganjal, sebab seperti gaun pengantin. Tapi sekali lagi ia sudah tidak berani bertanya perihal pikiran-pikiran negatifnya.

Ketika hendak mengikat rambut, Lisa melarang para pelayan tersebut. "Jangan," cegah Lisa sambil memegang tangan yang sudah memegang rambutnya. "Jangan di ikat atau disanggul," imbuhnya lagi.

"Tapi Nona, biar lebih rapih." Pelayan tersebut berusaha membujuk tapi Lisa tetap dalam pendiriannya. Dia menggeleng dan perlahan pelayan melepaskan tangannya.

"Aku sedikit pusing, jangan diikat rambutku." Jelas Lisa lagi.

Mereka hanyalah seorang pelayan. Sementara di depannya adalah Nyonya Wilson. Mereka tidak berani membantahnya apalagi membuat Nyonyanya sakit. Mereka membiarkan rambut Lisa terurai bebas dan memotretnya sesuai dengan keinginan Tuan Muda Ken.

Bersambung....

Cinta Berawal Dari TerpaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang