EP 51 - As Friends

4.7K 576 42
                                    

Tobby mulai mengganti seragam kerjanya dengan pakaian bersih yang ia kenakan tadi pagi. Ia melihat bayangan wajahnya dalam cermin yang dia simpan di dalam lokernya. Banyak hal yang terjadi setelah kunjungannya bersama Nadia ke Bandung namun sudah berhari-hari perasaannya ini terasa sama, tidak karuan.

Semua orang tentu tahu jika penyesalan seringkali datang terlambat. Penyesalan biasanya menyesap di antara jalinan kata-kata yang terucap dan baru disadari setelah berlalu. Sebuah ironi kehidupan, bahwa penyesalan selalu menanti di ujung jalan, meninggalkan bekas yang sulit terhapus di hati para pelakunya. Seperti apa yang saat ini dirasakan Tobby.

Tobby menutup pintu lokernya dengan perasaan kosong, sambil membawa bungkusan kecil saat melangkah keluar menuju halaman belakang restoran. Malam itu terasa sunyi, jauh dari keceriaan biasanya. Bahkan hembusan angin seolah enggan menyapanya saat ia berjalan. Teman-temannya telah pulang lebih awal, meninggalkannya sendirian di restoran.

Tobby sengaja tinggal lebih lama, menggunakan waktu itu untuk menyendiri di dapur. Sebagai chef in-house, ia bersyukur atas kebebasan yang diberikan untuk menciptakan menu baru. Namun, malam ini, ia bertahan di sana bukan untuk menciptakan hidangan, melainkan untuk meredakan kegelisahannya. Tanpa disangka, meditasinya di dapur malam itu menghasilkan sesuatu yang tak terduga: sebuah cake yang ia bawa bersamanya, sebagai hasil dari proses perenungannya.

Malam itu, Tobby merencanakan kunjungan ke rumah Nadia setelah beberapa hari tidak bisa menghubunginya. Ia ingin meminta maaf dan mengungkapkan terima kasihnya. Namun, dalam relung hatinya, ada sebuah kalimat yang terus membayangi pikirannya, satu ucapan yang mungkin telah membuat Nadia menjauh darinya saat mereka berada di Bandung kala itu. Ia benar-benar berlaku seakan dirinya tak tahu berterima kasih, padahal Nadia telah merelakan waktunya untuk membantunya.

Shit.. he shouldn't have said that..

Saat ini, Tobby marah pada dirinya sendiri karena kata-kata yang telah diucapkannya itu. Ia menyadari bahwa dirinya belum siap untuk melihat betapa bahagia keluarga besarnya saat ia memperkenalkan Nadia. Bahkan, ia tidak siap dengan reaksi bundanya yang terlihat begitu menyukai Nadia. Permintaan bundanya agar Nadia ikut dalam persiapan hari pertunangan kakaknya membuat Tobby sibuk mencari alasan masuk akal untuk menolaknya. Ia berakhir mengatakan bahwa bahwa hubungan mereka masih terlalu muda untuk melibatkan Nadia dalam acara keluarga besar seperti itu.

"It's the right thing to do." Gumamnya meyakinkan dirinya kembali. Ia kemudian menghela napas panjang. 

Tobby lalu memasang helm full face dan menaiki motornya. Tak lama kemudian, motor itu melaju menembus jalanan kota Jakarta yang ramai.

Dalam perjalanan, sebuah pertanyaan mengusiknya. Haruskah ia membuka kartu dan mengungkapkan kebenaran pada Ibunya tentang hubungannya dengan Nadia? Sebelum harapan dan ekspektasi yang terlalu tinggi berada di luar kendali dan membawa risiko yang tidak terduga bagi keduanya?

***

Tobby menghentikan motornya di depan rumah Nadia. Namun kali ini lampu rumahnya terlihat tidak menyala.

Apakah Nadia sudah tidur? Ataukah gadis itu belum pulang ke rumah? Namun mobil kecilnya terlihat terparkir di depan rumahnya.

Ia memencet tombol bel rumah itu beberapa kali, namun tidak ada siapapun yang membuka pintunya. Tobby kemudian mencoba menghubungi Nadia. Nada teleponnya tersambung namun gadis itu tidak kunjung mengangkatnya bahkan hingga nada sambungnya terhenti.

Is she that mad to me? of course she is that mad to me..

Pemikiran itu kembali terngiang di benaknya.

IMPOSSIBLE ATTRACTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang