Napas Nadia masih terengah setelah baru saja berlari dengan sekuat tenaga menuju stasiun kereta api terdekat untuk mengejar kereta paling tercepat menuju bandara. Malam ini adalah jadwal keberangkatannya menuju Auckland, New Zealand. Semuanya sudah ia siapkan dengan cermat, namun entah mengapa passportnya tidak ada di dalam tote bag-nya dan mengharuskannya untuk kembali menuju apartemennya, padahal ia sudah setengah perjalanan menuju bandara.
Ia mengutuk dirinya sendiri karena hal itu. Seharusnya ia sudah sampai di bandara dan beristirahat dengan tenang sambil menunggu keberangkatannya saat ini, namun karena kebodohannya, kini ia harus berharap cemas di dalam kereta dan berdoa agar ia tidak terlambat menaruh kopernya di baggage counter. Ia hanya memiliki waktu 25 menit sampai batas waktu baggage counter ditutup.
Di dalam kepalanya ia kembali mengatur apa yang harus dirinya lakukan setelah menginjakkan kaki di stasiun bandara nanti. Ia membayangkan seberapa jauh ia harus berlari menuju skytrain sebelum kemudian bisa sampai di Terminal 3 keberangkatan internasional. Ia melirik sepatu berhak yang ia kenakan saat ini dan kembali menggerutu. Jika saja dirinya sampai dengan menggunakan taksi, ia akan langsung diantarkan menuju lobby drop off dan tidak perlu berlari jauh, apalagi dengan sepatu hak yang ia kenakan kini.
Nadia sudah bersiap di depan pintu keluar kereta ketika kemudian kereta benar-benar berhenti dan pintu itu dibuka. Iaberlari dengan sekuat tenaga menggunakan sepatu haknya menuju tangga escalator tinggi yang akan mengantarkannya menuju peron sky train. Nafasnya kembali terengah, dengan koper yang tidak bisa dibilang kecil, juga dengan hak sepatunya, ia sebenarnya sudah tidak sanggup, namun ia tidak bisa berhenti untuk sekedar beristirahat sejenak kali ini.
Nadia tersenyum lega ketika skytrain yang harus ia gunakan telah tersedia tepat ketika ia sampai di peronnya. Sambil terengah, Ia kembali menggiring koper louis vuitton pemberian kekasihnya itu dan melangkah menuju sky train yang cukup dipenuhi orang. Gadis itu kembali mengecek jam tangannya dengan cemas. Tidak, perjalanan menegangkan ini belum selesai baginya. Ia masih harus berlari dari stasiun skytrain Terminal 3 menuju baggage drop counter bandara yang jaraknya masih cukup jauh.
Ia menyadari mungkin kini wajahnya sudah terlihat tidak karuan dengan rambut yang berantakan akibat tertiup angin dan peluh yang sejak tadi mulai menetes di keningnya. Namun, saat ini bukan waktunya untuk peduli dengan semua itu, satu-satunya hal yang ia inginkan adalah berada di baggage counter tempatnya akan menaruh koper kesayangan dengan segala isi yang diperlukannya untuk acara pernikahan Anna nanti.
Drak!
Kopernya tiba-tiba terkait tali panjang, membuatnya tertarik ke belakang dan nyaris kehilangan keseimbangan.
Apa lagi ini..- Ia kembali menggerutu tak habis pikir dengan kesialan yang sejak tadi menimpanya. Dengan tangan yang bergetar ia mencoba melepaskan tali yang melilit di roda kopernya.
"Shit!" Serunya frustasi. Padahal tidak jauh lagi ia akan sampai di pintu masuk.
"Butuh bantuan gak?" Tanya seseorang di belakangnya. Suara itu terdengar tidak asing baginya. Dan benar saja ketika ia menoleh, pria itu berdiri di sana dengan hoodie yang menutupi kepalanya dan earphone di telinganya.
Deg.
Ia terkejut dengan apa yang dilihatnya kini. Satu kemalangan lagi kemungkinan akan menimpanya. Jangan-jangan mereka akan berangkat di waktu yang sama..
"Yaudah kalau gak mau gue bantu." Kata Tobby kemudian berlalu untuk kembali melangkah setelah sejenak tidak ada jawaban darinya.
"Wait.. gue butuh bantuan lo." Kata Nadia walaupun sebenarnya enggan.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSSIBLE ATTRACTION
Literatura FemininaBagaimana jika dua orang yang memiliki sifat saling bertolak belakang dan membenci kehadiran satu sama lain disatukan dalam satu perjalanan yang tak akan pernah bisa mereka lupakan? Semuanya berawal dari rencana pernikahan dua teman mereka yang memb...