Bab 3

788 128 43
                                    

Keheningan membuat isak semakin terdengar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keheningan membuat isak semakin terdengar. Air mata luluh lantah membasahi pipi, bahkan lantai.

Tubuh lemah ini terseret, dari pintu utama sampai ujung tangga. Sengaja diseret, bukan menggunakan tali, tapi rambut penghias kepala.

Aku hanya mampu memejamkan mata. Karena tidak bisa melawan, aku menikmati rasa sakit itu. Tanganku memegang rambut, mengurangi perih.

"Kapok belum? Makanya jangan ngelawan!" Wanita itu menatapku tajam.

Tulang ekorku menghantam anak tangga pertama. Aku tidak lagi mencoba berdiri, jika belum tegak saja sudah dijatuhkan kembali.

"Nih buku latihan soal. Semua soal harus terisi. Saya cek dua hari lagi!"

"Jawab!"

Belum usai ternyata, wanita itu menginjak kaki telanjangku dengan high heels miliknya.

Menggenggam lenganku sekaligus menancapkan kuku panjangnya. Menarik masuk ke dalam lift.

Aku mengerang kesakitan, air mata mengucur deras. Tidak ada keluhan dari bibirku untuk melawan pun aku tak kuasa.

Tubuhku terlempar ke dalam kamar. Wanita itu melempar beberapa buku tebal, menghantam kepala sekaligus wajahku.

"Karena tadi kamu sudah berbahagia di luar, pintu ini tidak akan terbuka sampai ayahmu pulang. 2 hari lagi."

Wanita itu pergi. Mengunci pintu kamar ini. Tangisan dan teriakan menggema. Kamar ini kedap suara, mereka sengaja tuli kala teriakan kepedihan kubunyikan.

Aku ingin bahagia dalam waktu lama, bisakah? Aku juga ingin tertawa tanpa tangis setelahnya.

Sakit kemarin belum usai, kini bertambah. Tingkat perihnya juga meningkat, andai aku tidak ikut mereka, apakah tetap seperti ini?

Iya, wanita itu akan selalu mencari kesalahanku. Baginya, tiada hari menggembirakan tanpa menghajarku.

"Aaaaaargh!"

Untuk kesekian kali aku berteriak. Rambutku sudah berantakan, bagai surai singa. Sangking seringnya aku mengacaknya.

Rasanya kepala ini akan meledak. Ke arah manapun mataku menatap angka yang terlihat.

Aku berlari ke kamar mandi, memuntahkan isi perut. Sudah, aku menyerah. Seusai membersihkan mulut, aku berbaring di atas kasur. Memejamkan mata, mencoba terlelap.

Sakit di kepalaku kembali datang, mungkin hanya mimpi, namun seperti nyata. Aku membuka mata, yang pertama kulihat ialah wanita itu yang sedang menjambak rambutku.

"Enak saja tidur. Belajar!"

Angan-angan untuk bisa tidur lelap dihancurkan pahitnya kenyataan.  Malam ini sama seperti malam sebelumnya, dihiasi tangis dan jeritan.

...

Setelah melewati hari tanpa asupan makanan dan menghirup pasokan udara kamar yang tak sebanyak di luar. Aku bebas, menghirup udara mana saja.

Bebas? Sepertinya Tuhan ingin mendengar keluhku, Tuhan mengujiku lebih keras agar lemahku padam.

Pagi yang harusnya kugunakan untuk memulai indahnya hari. Menjadi tanda akan hadirnya petaka, bukan hanya untuk hari ini, tapi sampai hilangnya nyawa.

Gadis itu berada di pelukan ayah, melambaikan tangan ke arahku. Senyumnya sungguh memuakkan.

 Senyumnya sungguh memuakkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Massa (TAMAT)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang